34. Hari Bersama

582 39 2
                                    

Mendekati ujian nasional yang tinggal menghitung hari. Seluruh siswa kelas XII disibukan oleh berbagai kegiatan yang menguras tenaga serta fikiran. Seperti ujian praktek, tugas akhir, ujian sekolah, tryout, belum juga bimbel (bimbingan belajar) yang dilakukan setiap hari senin sampai hari kamis sepulang sekolah.

“Hari ini kamu pulang sama siapa?” tanya Dimas pada Anin. Karena tidak menyebutkan nama, sontak Rangga, Dino dan Maura menoleh ke sumber suara.

“Aku antar ya?” tambah Dimas.

Dino berdecak. “Mentang-mentang udah taken. Nempel mulu kayak perangko.”

“Sirik aja lo, Jomblo! Makanya cari juga! Jangan mentengin Kak Ros mulu. Emang Kak Ros bisa lo pacarin?” balas Dimas dengan senyum mengejek.

Koridor yang semula sepi kini dipenuhi suara gelak tawa dari Maura, Adit, Rangga, dan Anin.

“Mohon bersabar. Ini ujian buat jomblo kayak lo.” ucap Rangga seraya menepuk pelan pundak Dino yang sudah mengerucutkan bibirnya.

“Gimana Nin?” tanya Dimas lagi. Menyudahi gelak tawa teman-temanya.

“Aku bisa pulang sendiri kok. Kamu sama Maura aja.” tolak Anin, di sertai senyum darinya.

Maura menggeleng. “Kok gitu? lo bareng Dimas aja. Gue mah gampang.”

“Biar Maura pulang sama gue.” sahut Adit.

Semua kepala langsung menoleh ke arah Adit. Terutama Maura yang menatapnya binggung.

Akhir-akhir ini hubungan Maura dan Adit memang semakin dekat. Tapi tidak biasanya Adit bersikap seperti ini.

“Nggak! Nggak bisa. Hari ini Maura pulang sama gue!” seru Rangga tiba-tiba.

“Dia udah pulang sma gue, Ngga!” balas Adit sengit.

Rangga menoleh saat Dino menyenggol lenganya lalu menggelengkan kepala singkat. Sedangkan Rangga hanya membalasnya dengan senyum kecil serta kedipan mata. Dino hanya menghela nafas melihat tingkah jahil Rangga.

“Emang Maura udah bilang mau?” semua tatapan kini beralih pada Maura. “Ra, lo harus pilih. Pulang sama gue atau Adit?”

Maura menatap kedua orang itu bergantian. Ia tidak bisa memilih.

“Gue pulang sendiri.” putus Maura.

“Itu nggak masuk dalam pilihan, Ra!” tukas Rangga. “Pilihanya cuma gue atau Adit?”

“Dan gue nggak milih keduanya. Hari ini gue pulang sendiri.” tegas Maura.

“Tapi..”

“Eh, lihat deh, itu Nanda kan?” sela Dino

Semua tatapan beralih ke arah yang ditunjuk Dino. Tak jauh dari mereka berdiri, terlihat Nanda berjalan terhuyung dengan kedua tangan memegang perut.

“Itu Nanda kenapa? kayak lagi kesakitan gitu.”

“Iya Ra. Dari tadi di kelas dia emang kelihatan sakit. Tapi waktu gue tanya dia bilang nggak pa-pa.”

“Eh, Nanda!” pekik Maura dan Anin berbarengan melihat Nanda hampir terjatuh kalau saja tangan kirinya tidak memegang salah satu tiang yang ada di lobby.

“Tolongin yuk.” Maura hendak melangkah namun terhenti oleh Dimas yang mencekal lenganya.

Dahi Maura berkerut samar melihat semua temannya sedang menatap Rangga. Sedangkan Rangga bersikap cuek seolah tak terjadi apapun.

“Apa?” Rangga menaikan kedua alisnya karena terus ditatap oleh semua sahabatnya. “Gue mau pulang sama Maura.”

“Dia pulang sama gue Ngga!” seru Adit. Nada suaranya terdengar dingin dan tegas.

“Nanda!” pekik Anin saat Nanda jatuh terduduk di lantai.

“Ngga!” Dino angkat suara. Sama seperti Adit, nada suaranya terdengar dingin.

Rangga terdiam. Menatap lurus ke arah Nanda. Beberapa saat kemudian Ia berdecak keras lalu berjalan menghampiri Nanda.

Nanda terlihat terkejut begitu Rangga tiba-tiba mengangkat tangan kirinya dan menaruhnya di bahu Rangga, membantunya berdiri dan berjalan.

“Sekian drama hari ini. Saya selaku penonton harus undur diri. Wassalamualaikum.” ucap Dino lantas beranjak pergi.

“Ngomong apa sih tu anak. GJ WOY!” teriak Dimas diakhir kalimat, kemudian menoleh ke arah Anin. “Pulang sekarang?”

“Bentar. Kita nggak bantuin Nanda? Kasihan dia lagi sakit.” sela Maura.

Dimas terkekeh. “Udah biarin mereka berdua. Rangga tau dia harus ngapain. Udah gue mau pulang. Yuk Nin!”

Maura menatap kepergian Dimas dengan cengo. Ia tak mengerti maksud ucapan Dimas. Juga hubungan antara Nanda dan Rangga. Setahunya Nanda dan Rangga itu seperti Tom and Jerry, atau mungkin lebih?

“Nggak usah terlalu dipikirin. Nanti juga tau sendiri.” ucap Adit seolah bisa membaca pikiran Maura.

Adit melangkah pergi begitu saja, membuat Maura berdecak kesal dan ikut menyusul Adit di belakang.

Tak ada pembicaraan antara Maura dan Adit. Keduanya fokus pada apa yang dilakukanya. Adit fokus pada jalan di depanya. Begitu juga Maura. Gadis itu sibuk melamun dengan menatap bangunan sekitar.

Dahi Maura berkerut samar. Adit menghentikan motornya di suatu tempat yang asing bagi Maura. Ia pun turun dari motor. Matanya sibuk menelusuri sekeliling tempat itu.

Tak jauh dari tempatnya berdiri, ada taman kecil yang dipenuhi anak kecil bermain. Lalu di belakang taman tersebut ada papan kecil bertuliskan ‘Panti asuhan kasih bunda’ dan sebuah rumah yang tidak terlalu besar.

“Kita di mana?” tanya Maura penasaran.

Adit mengendikan bahunya sekilas. “Seperti yang lo lihat. Di taman.”

Maura memutar bola matanya jengah. “Iya, Gue tau. Terus kenapa lo ngajak gue ke sini?”

Adit menoleh. “Lo lihat anak-anak yang bermain di taman itu?”

Maura mengangguk singkat. Keduanya kini menatap anak-anak yang bermain di taman tersebut.

“Mereka terlihat bahagia kan?” jeda. Maura mengangguk samar sebagai jawaban. “Bentar lagi kita mau ujian nasional. Gue capek mikirin tugas.”

Adit terkekeh sekilas membuat Maura menoleh melihat Adit yang masih menatap lurus ke depan.

“Gue ajak lo ke sini agar lo bisa kayak mereka. Untuk hari ini aja. Gue mau kita lupain semua beban di otak dan hati kita dan bersenang-senang kayak mereka.” Adit menoleh. Matanya langsung tertuju ke manik mata Maura dan menatapnya dalam.

Keduanya saling tatap cukup lama, sampai Maura menunjukkan senyum dan mengangguk, diikuti Adit setelah itu.

“Ayo!” seru Adit. Tanganya meraih tangan Maura. Menggengamnya dan menarik pelan supaya Maura mengikuti langkah Adit.

Jangan ditanya bagaimana respon jantung Maura. Seperti berdisko. Ingin sekali Maura mengatai jantungnya yang bertindak lebay. Tapi tidak bisa karena itu jantungnya.

Kedatangan Maura dan Adit sama sekali tak menganggu kesenangan dan kegiatan anak-anak di taman itu. Justru kedatangan Adit dimanfaatkan oleh mereka. Seperti meminta Adit mengangkat mereka ke atas prosotan sehingga mereka tidak perlu naik ke tangga prosotan itu. Walaupun begitu Adit tidak keberatan. Ia menuruti semua permintaan anak itu. Sesekali Ia ikut bermain prosotan seperti mereka. Sedangkan Maura malah asik bermain jungkat-jungkit bersama seorang anak perempuan. Keduanya terlihat akrab seperti kakak beradik.

Tak hanya itu. Adit dan Maura juga sempat bermain gobak sodor dan petak umpet bersama anak-anak itu.

Ting ting ting

Mendengar suara lonceng, Anak Perempuan yang sedari tadi bersama Maura itu sontak menoleh. Matanya berbinar melihat penjual es krim yang berhenti di pinggir taman. Langsung saja Anak Perempuan itu menarik ujung rok Maura.

“Kenapa?” tanya Maura.

“Kak, Rara mau itu.” Anak Perempuan itu menunjuk Penjual es krim.

Maura tersenyum. lantas menggenggam tangan anak kecil itu. “Ayo kita beli es krim.” ajaknya.

“Horeeee!” seru Anak Perempuan itu dengan gembira. Keduanya pun beranjak menuju penjual es krim.

“Pak, es krimnya dua.” pinta Maura.

Penjual itu memberikan 2 es krim pada Maura. Saat hendak membayar tiba-tiba Adit datang dengan menyerahkan uang seratus ribu pada si penjual.

“Biar gue yang bayar.” ucap Adit pada Maura.

Thanks.”

Adit mengangguk. Tatapanya beralih pada anak-anak yang ada di taman.

“ANAK-ANAK, SINI!” teriaknya lantang.

Anak-anak mengerti kalau Adit akan mentlaktirnya es krim pun langsung berlari menuju Adit dengan semangat. Tak hanya itu, semua anak itu saling berebut mendapat es krim terlebih dahulu.

“Jangan berebut. Ayo berbaris!” seru adit. Anak-anak itu mulai berbaris menuruti perkataan Adit. Dengan cepat Adit memberi mereka es krim satu persatu.

“Lo tau dari mana tempat ini?” tanya Maura.

Kini keduanya sedang menikmati es krim mereka dengan duduk di ayunan sambil mengawasi tingkah polah anak-anak bermain. Berasa seperti orang tua yang sedang menjaga anak-anaknya.

“Dari bokap.” jawab Adit seadanya. Tatapanya masih lurus ke depan. Sesekali Ia tertawa kecil saat melihat tingkah anak-anak itu.

“Lo sering ke sini sama bokap lo?” tanya Maura lagi. Gadis itu tidak bisa membedung rasa penasaranya.

Pertanyaan Maura membuat Adit terpaku untuk sesaat. Namun dengan cepat Ia bisa menguasai dirinya kembali.

“Dulu gue sering ke sini sama dia. Dia selalu ngajarin gue untuk berbagi ke sesama.”

Maura mengernyit melihat perubahan di wajah Adit. Ada sorot kesedian sekaligus amarah di mata cowok itu. Samar, terdengar Adit menghela nafas.

“Mau main lagi?” tanya Adit. Nadanya terdengar ringan. Bahkan ekspresinya tadi telah hilang.

“Kak, Aku mau main ayunan.” ucap seorang Anak Perempuan yang tiba-tiba berdiri di depan Adit dan Maura.

Adit segera berdiri. Mempersilahkan anak perempuan itu untuk menaiki ayunan yang tadi di dudukinya.

“Pegangan yang erat ya. Satu, dua, tiga!” Adit mendorong ayunan yang diduduki anak itu.

“Ayun lagi Kak, yang tinggi.” pinta anak itu dengan senyum lebar.

“Oke. Pegangan yang erat. Wuuu..”

Suara tawa terdengar dari keduanya. Sejak awal bermain di sini, Adit terlihat bahagia menikmati waktu bersama anak-anak itu. Maura tidak pernah melihat ekspresi ini di wajah Adit sebelumnya. Perlahan senyum di bibir Maura ikut mengembang.

Hari ini akan selalu diingat oleh Maura. Ia benar-benar melupakan semua beban di hatinya. Dan semua itu karena Adit.





*******

Halooo...
Gimana sama part ini? Ngefeel nggak?

Demi kemajuan author dalam hal menulis, ditunggu kritik atau saran dari kalian 😄

- Mel

MIMPI [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang