Bruder
Suara bising yang berubah-ubah terdengar dari suara televisi yang tergantung di dinding bercat putih itu. Di atas tempat tidurnya, seorang laki-laki tampan tampak sedang menganti-ganti saluran televisi. Entah sudah berapa kali dia membuat gambar di layar televisi itu berubah-ubah. Andai televisi itu bisa bicara sudah dipastikan televisi itu akan memprotesnya, memintanya untuk berhenti.
"Kenapa sih gak ada acara yang bagus? Dari tadi acara lebay sama berita politik mulu, sekalinya bukan acara lebay sama berita politik, malah sinetron picisan yang pemainnya itu-itu aja," oceh laki-laki itu. Kesal, laki-laki itu mengacak-acak rambutnya. Lalu dengan kasarnya ia mematikan layar televisi itu.
PRANG!
Dengan buasnya, ia melepar remote yang digenggamnya itu. Remote itu menabrak dinding dan retak begitu saja. Setelah televisi itu tidak lagi bersuara, laki-laki itu justru merasa semakin bosan. Dia mengambil ponselnya, memulai kembali game yang dia tinggalkan, namun tidak lama dia kembali meletakkan ponsel itu dengan kasar.
"Kenapa sih gak ada yang bisa gue lakuin? Sialan banget hari ini, mana si Bawel gak balik-balik lagi. Kan gue gak ada temen ngobrol. Emang dia harap gue ngomong sama tembok gitu?" umpat laki-laki, menyuarakan kekesalan dan kebosanannya sedari tadi.
Hah!
Hela napas kasar keluar dari mulut laki-laki itu. Dia turun dari tempat tidurnya, menatap ke luar melalui kaca jendelanya. Pandangannya tertuju pada orang yang berlalu lalang di luar sana. Dengan menopangkan kepalanya yang miring ke kiri, laki-laki itu tersenyum lebar. Matanya tiba-tiba saja terlihat berbinar.
"Ah, bego banget sih gue! Kenapa gak ke sana aja? lumayan 'kan bisa mainin cewek seksi, mumpung si Bawel pulang malem hari ini."
Laki-laki itu tersenyum senang dengan ide gila yang baru saja muncul di otaknya yang jarang dipakai. Dia segera berjalan menuju pintu, menekan knop pintu dengan sangat perlahan dan sedikit mengangkat knop pintu itu agar tidak menimbulkan suara decitan sedikit pun.
Dia tidak keluar, setidaknya hanya kepalanya saja yang berada di ambang pintu. Matanya menatap nyalang lorong panjang yang ada di kanan dan kiri pandangannya. Dia tersenyum saat menyadari situasi di luar cukup sepi. Entah kemana semua orang yang bekerja di sana. Harusnya pasti ada satu atau dua orang yang memastikan dirinya tetap berada di kamarnya. Mungkin ini memang hari keberuntungannya.
"Yes, sepi!" teriaknya dengan semangat, namun tetap dengan suara serendah mungkin, takut ada yang mendengar suaranya dan menggagalkan misinya untuk kabur. Dia menutup kembali pintu kamarnya dan berjalan cepat menuju almari di dekat tempat tidur, mengganti piyama tidur yang tengah ia kenakan dengan sweeter abu-abu, kemudian melapisinya dengan jaket kulit sebelum memakai celana jeans miliknya dan mengakhiri dandanannya dengan sebuah topi untuk menutupi wajah.
"Sempurna!" pekiknya senang ketika melihat pantulan dirinya di kaca.
Senyumannya mendadak luntur ketika matanya tak sengaja melihat pantulan tempat tidurnya di kaca. Dia buru-buru berbalik, merapikan tempat tidurnya dan meletakkan guling di tengah-tengah ranjang, kemudian menutupnya dengan selimut, hal yang dia pelajari dari sinetron picisan yang tadi dia tonton, tidak menyangka sinetron itu akan memberinya ide sehebat ini.
"Ini nih, baru sempurna!"
Laki-laki itu meraih ponsel di tangannya dan berjalan santai menuju pintu, namun belum sempat tangannya menyentuh knop pintu, dia menghentikan langkahnya, menatap ponsel yang sudah diberi alat pelacak, percuma juga dia mematikan aplikasi GPS di ponselnya kalau alat pelacak itu dipasang di piranti motherboard ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jour Pour Moi ✔
Teen FictionBagi Rashi, menjalani hidup seolah tengah bermain game, berusaha semaksimal mungkin untuk menang, tapi bedanya dalam hidup, ketika dia mati, dia tidak bisa mengulanginya lagi. Bagi Rashka, menjalani hidup adalah soal waktu, seberapa banyak waktu yan...