Dreizehn

2.1K 257 20
                                    

der dich von mir ablenken kann.

Sepanjang jalan Laras kehilangan konsentrasinya, hanya satu yang saat ini Laras pikirkan 'Mas Abin'. Bagaimana bisa laki-laki yang menyewanya saat itu ternyata tengah sakit parah! Kenapa laki-laki itu tidak mengatakan apapun atau menunjukkan sedikit saja rasa sakitnya agar dia bisa menyadari jika laki-laki itu sakit? Kenapa? Andai terjadi sesuatu saat itu dan Laras tidak tahu apa-apa, dia bisa disangka pembunuh. Lagi pula selama di Dufan, laki-laki itu terlihat sehat dengan kulit putih pucat khas bule. Dia tidak pernah memikirkan jika wajah pucat itu karena sakit, bukan karena bule.

"Mbak, kalo nyetir yang bener dong! Mau mati, ya?!" Laras tersentak kaget saat teriakan memekakan memasuki indera pendengarannya. Laras buru-buru meminta maaf dan mengembalikan konsentrasinya pada jalanan. Di belakangnya, Archie terus memeluk kakaknya dengan kuat.

"Kak pelan-pelan Aci takut!" tegur Archie yang semakin erat memeluk kakaknya. Namun, seperti tidak mendengarkan tegurannya, Laras justru semakin menaikkan kecepatan motornya hingga maksimal. Meskipun tidak terlalu kencang, Archie tetap ketakutan karena tidak pernah dibonceng sekencang ini.

"Kak, pelan aja Aci beneran takut Kak, Aci takut jatuh, Kak!"

Laras sepertinya sama sekali tidak mendengarkan suara Archie, bahkan hingga sampai di rumah. Laras hanya mematikan mesin motornya tanpa turun dari sana. Di belakangnya, Archie langsung melompat turun dan menatap kakaknya kesal.

"Aci takut naik motor sama Kakak!" bentak Archie dan langsung berlari ke dapur, mengambil gelas dan memenuhinya dengan air minum sebelum memindahkan seluruh isi gelas ke dalam tenggorokannya dalam hitungan detik. Dia mengulanginya lagi hingga tiga kali, bukan hanya haus tapi juga ketakutan. Hampir saja nyawanya melayang hanya karena kecerobohan Kakaknya.

Archie mendengar motor butut Kakaknya kembali dinyalakan, "Kak Laras!" guman Archie pelan, namun ketika dia berlari ke teras rumah, motor butut itu sudah menghilang, begitu juga dengan Kakaknya.

🌻🌻🌻🌻🌻

Laras menghela napas panjang, pikirannya kalut. Entah kenapa, dia merasa sangat bersalah pada laki-laki yang sudah membantu hidupnya itu. Seharusnya sebagai teman, dia bisa meringankan beban Abin seperti Abin yang meringankan bebannya. Tapi dia justru tidak mengetahui apapun soal penyakit Abin. Harusnya dia bertanya kondisi Abin saat dia menyadari raut wajah Abin semakin memutih dari saat pertama bertemu, harusnya otaknya bisa berpikir bahwa laki-laki yang mengantarnya pulang tengah sakit, bukan malah mengingatkan soal uang bayaran.

Motor Laras terparkir tak beraturan di parkiran rumah sakit. Mengabaikan penjaga parkir yang menegurnya agar membenarkan motor yang ia parkir, Laras berjalan masuk ke dalam rumah sakit dengan tatapan kosong. Dia juga mengabaikan sapaan orang-orang di bangsal anak yang mengenalnya, bahkan mengabaikan Dokter Nathalie yang kebingungan melihat Laras kembali ke rumah sakit tanpa adiknya.

Dia sudah 10 langkah meninggalkan Dokter Nathalie sebelum akhirnya menyadari dirinya telah melewati dokter cantik itu. Dia segera berbalik bahkan berlari mengejar Dokter Nathalie yang sudah sedikit menjauhinya. Tangannya buru-buru menarik tangan dokter Nathalie dan membawanya sedikit menjauh dari kerumunan.

"Kenapa Ras?" Dokter Nathalie kebingungan melihat wajah gusar Laras. Laras memainkan jemarinya, bingung bagaimana menjelaskannya.

"Dokter tahu di mana kamar rawat Kak As yang biasa anak-anak sebut itu?"

"Kak As? Rashi maksudnya?"

"Rashi? Bukannya namanya Abin dok?" tanya Laras memotong Dokter Nathalie saat ingin melanjutkannya, ini semakin membuat Laras bingung.

Jour Pour Moi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang