Ich lebe glucklich neben Gott
"Ka, camping yuk?" Rashka yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya langsung menatap Rashi tajam. Tanpa rasa berdosa Rashi menunjukkan acara yang tengah ditontonnya. Rashka mengikuti arah telunjuk Rashi. Benar juga, di sana menampilkan orang-orang yang tengah camping di bawah langit berbintang dan alam terbuka, terlihat sangat indah dan menakjubkan.
"Camping yuk Ka?" ulang Rashi sekali lagi.
"Nanti ya, kalau lo udah enakan badannya."
"Ini udah enakkan kok. Camping ya Ka? Anggep aja ini permintaan terakhir gue!" Lagi, Rashi masih terus berusaha membujuk Rashka agar keinginannya terwujud dengan diakhiri nada yang sangat lirih, tapi Rashka masih bisa mendengar dengan jelas gumanan Rashi yang langsung seketika membuat hati Rashka sakit mendengarnya.
"Nanti ya? Gue pikir-pikir dulu," jawab Rashka sedikit tersenyum, berusaha agar tidak membuat kecewa Rashi. Sejujurnya saat ini yang ada di pikiran Rashka adalah memikirkan bagaimana caranya agar bisa memenuhi keinginan Rashi, yang memang tidak akan terjadi, mengingat kondisi Rashi saat ini tidak pernah stabil.
Rashi mengangguk patuh, tidak merajuk seperti biasanya saat Rashka tidak mengabulkan keinginannya yang aneh itu. Rashka pasti akan mempertimbangkan segala konsekuensi yang harus ditanggung jika membawanya keluar dari kamar ini. Jangankan camping, waktunya untuk pergi ke taman saja sekarang sudah dibatasi.
Rashi bergerak pelan, memilih berbaring kembali di atas tempat tidurnya. Hari ini tubuhnya terasa sangat lemas, tapi dia tidak merasa kesakitan dan itu artinya sesuatu yang baik, setidaknya dia tidak akan merepotkan Rashka seharian ini.
🌻🌻🌻🌻🌻
Laras datang saat matahari sudah tinggi tanpa Archie. Hari ini Archie ada tugas kelompok dengan teman-temannya sehingga dia tidak bisa ikut ke rumah sakit seperti biasa.
"Aci gak ikut?" tanya Rashka pelan, sedikit melirik ke arah Rashi yang terlihat tidur.
"Lagi ada tugas kelompok dari gurunya," jelasnya sambil menyerahkan kopi pada Rashka yang sedang duduk di sofa. Pandangan Laras sejak tadi terfokus pada Rashi. Laras sedikit bingung melihat Rashi yang tertidur di jam seperti ini, biasanya anak itu pasti lagi bermain game di jam-jam seperti ini.
"Itu Rashi baik-baik aja, 'kan?" lanjut Laras, merasa khawatir dengan Rashi.
Rashka menatap Rashi sejenak, sedikit mengerutkan kening melihat bulir keringat di dahinya. Seingatnya tadi Rashi tidak berkeringat seperti itu. Dia lantas berdiri, menyeka keringat di dahi Rashi dengan beberapa lembar tissue yang dia ambil di atas meja. Setelah menyeka keringat Rashi, Rashka mengeluarkan thermometer yang selalu berada di laci dan memasukan ujung thermometer ke lubang telinga Rashi.
Bip!
Rashka segera memeriksa angka yang tertera di layar itu. 38°C sedikit lebih tinggi daripada angka yang seharusnya dengan suhu tubuh yang normal. Rashka segera menekan tombol darurat yang terhubung dengan ruangan para perawat. Laras hanya melihat semuanya dari sofa, begitu pula saat dokter Aldo datang terburu-buru.
"Ada apa?" tanya Dokter Aldo panik. Sepertinya dia tidak pernah tidak panik saat masuk ke ruang rawat Rashi. Dia selalu takut terjadi sesuatu pada Rashi, mengingat kondisinya yang semakin lama semakin mengkhawatirkan.
"Rashi demam.'' Rashka juga menjelaskan tadi mereka sempat berbicara sebentar sambil menonton televisi sebelum Rashi memutuskan untuk berbaring dan tidak lama dia tertidur. Sebelum mematikan televisi, tadi Rashka sudah memastikan adiknya baik-baik saja tapi sekarang tiba-tiba saja Rashi demam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jour Pour Moi ✔
Teen FictionBagi Rashi, menjalani hidup seolah tengah bermain game, berusaha semaksimal mungkin untuk menang, tapi bedanya dalam hidup, ketika dia mati, dia tidak bisa mengulanginya lagi. Bagi Rashka, menjalani hidup adalah soal waktu, seberapa banyak waktu yan...