Zwanzig

1.9K 219 36
                                    

Ich sehe dich im Himmel

"Ibu, sini deh, Laras mau ngomong."

Ibu yang baru selesai menyetrika seragam sekolah Archie berjalan santai menuju ruang tamu di mana anak gadisnya tengah duduk termenung sedari tadi. Sebenarnya Ibu sudah ingin mendatangi Laras sejak tadi, tapi dia mengurungkan niatnya, berpikir mungkin Laras belum membutuhkan seorang pendengar.

"Ada apa?" tanya Ibu dengan lembut. Dia mempelai puncak kepala Laras, sejenak berpikir sudah berapa lama dia tidak menghabiskan waktu berdua hanya dengan Laras seperti sekarang ini.

"Ibu tau Kak As yang sering disebut-sebut sama Aci 'kan? Yang sering beli kue di ibu, yang beliin Aci mainan juga?"

Ibu mengangguk, dia memang pernah bertemu Rashi beberapa kali di rumah sakit saat mengantar Archie periksa atau sekedar membawakan kue untuk laki-laki itu. Dia juga sudah mendengar puluhan kali tentang laki-laki yang dikagumi Archie, bahkan dia hapal semua yang Archie ceritakan saking seringnya anak itu mengulangi cerita tentang Rashi. Namun, melihat wajah sendu anaknya, Ibu sudah bisa menebak pasti terjadi sesuatu yang buruk pada laki-laki itu. terakhir dia bertemu Rashi, wajahnya sangat pucat, bobot tubuhnya berkurang sangat banyak, namun senyumannya tidak juga pudar.

"Ibu tau 'kan kalo dia sakit parah? Dia kanker darah Bu dan dokter yang ngerawat dia juga udah angkat tangan. Tadi pagi dia kritis, paru-parunya basah, kena pneumonia. Ditambah kondisinya yang beberapa hari ini menurun, dokter udah gak bisa ngelakuin apa-apa lagi selain berharap keajaiban." Laras menceritakannya dengan nada bergetar, bahkan sudah menangis mengingat kondisi Rashi dan hancurnya Rashka tadi.

"Ya Tuhan, kasiannya, mana udah gak punya orangtua. Kakaknya pasti sedih banget."

"Iya Bu. Rashi ini, punya permohonan terakhir gitu, kayaknya dia juga ngerasa hidupnya gak panjang lagi. Dia pengen liat kakaknya nikah sebelum dia pergi. Paling gak kalo dia pergi, kakaknya ada temennya, gak sendirian lagi."

Tanpa terasa Ibu menitikkan air mata. Dia tahu persis apa yang dirasakan Rashka. Dia tahu persis bagaimana ditinggalkan orang yang dia cintai, satu-satunya sumber bahagianya, satu-satunya penguatnya. Menuruti permintaan Rashi sama dengan memberikan lampu hijau untuk Rashi pergi dan itu jelas berat bagi Rashka.

"Jadi Rashi ingin kamu menikah dengan kakaknya?"

Laras menatap ibunya kaget. tidak menyangka ibunya akan membaca isi kepalanya sekarang. Laras akhirnya mengangguk. Wajahnya sudah sembab karena terlalu banyak menangis. Pikirannya juga kalut, teringat kata-kata Rashka saat memintanya menikah dan kondisi terakhir Rashi yang dipasangi ventilator untuk membantunya bernapas. Sekarang ini, Rashi sudah tidak bisa bernapas sendiri dengan masker oksigen.

"Laras cinta sama Rashka?"

Laras terdiam tanpa bisa menanggapi pertanyaan dari Ibu. Dia belum mencintai Rashka, jelas belum. Tidak ada getaran yang menunjukkann bahwa dia mencintai Rashka saat ia menatap laki-laki itu. Namun setiap melihatnya, rasa kagum dan hormatnya pada laki-laki itu tidak pernah pupus, justru semakin dipupuk. Laras baru menyadari, dia ingin bersama laki-laki itu, menemaninya melewati masa-masa terberatnya.

"Laras kagum sama Rashka. Dia laki-laki luarbiasa. Bertanggung jawab, penuh kasih sayang, cekatan, telaten, pengertian. Dia suami idaman Bu. Tapi Laras takut, takut dia terpaksa melakukan ini karena Rashi, bukan karena dia benar-benar ingin menikahi Laras. Ibu lihat kan bedanya kita sama mereka? Mereka terlalu tinggi di sana."

"Nak, dengerin Ibu. Gak semuanya itu dipandang dari materi. Rashka mungkin memiliki segalanya, tapi dia tidak memiliki cinta yang dia harapkan dari orangtuanya, dia kesepian, dia membutuhkan orang yang bisa mencintainya, memberikan kasih sayang yang lama tidak pernah dia rasakan dan Ibu yakin Laras bisa memberikannya pada Rashka."

Jour Pour Moi ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang