Nabila mulai membuka matanya saat cahaya matahari sudah memasuki kamarnya. Ia merenggangkan tangannya yang terasa pegal, bahkan hampir di sekujur tubuhnya. Nabila menggerakkan tubuhnya ke samping memunggungi jendela yang menampilkan cahaya matahari. Beberapa kali matanya masih terpejam. Di sela-sela bulu matanya, Nabila melihat ada sosok di depan lemari. Mata Nabila membulat, tubuhnya bergerak kebelakang menjauhi sosok asing di kamarnya itu.
Bugh
"Aww," pekik Nabila saat tubuhnya terjatuh dari tempat tidur.
"Liqi, kamu kenapa?" Tanya Rayhan, berjongkok di depan Nabila.
Nabila menarik selimutnya dan menutupi tubuhnya. "Mas Rayhan, ih! Bikin kaget!" Pekik Nabila masih dengan wajah menahan rasa sakit.
Nabila melilitkan selimut di tubuhnya secara asal. Ia mencoba berdiri, namun tidak bisa berdiri tegak. Bagian pinggangnya masih terlalu sakit. "Mau ku bantu?" Rayhan menawarkan diri.
"Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri kok." Nabila berjalan tertatih menuju kamar mandi.
"Liqi, kamu masih kesakitan. Mas gendong, ya?" Rayhan masih setia mengikuti Nabila hingga ke depan kamar mandi.
Nabila berbalik dan menghadap ke arah Rayhan. Rasa malu yang menghampiri Nabila karena kejadian semalam dan selimut yang merosot tadi membuat Nabila kesulitan menyembunyikannya. Ia menunduk, "nggak usah!"
Brakk
Nabila menutup pintu kamar mandi dengan sangat kasar. Tubuhnya ia sandarkan di daun pintu. Kedua tangannya naik menyentuh pipi, senyumnya melebar. Nabila masih sulit percaya jika Rayhan sudah menjadi suaminya. Apalagi mengingat Rayhan sama sekali tidak pernah menemuinya sejak kejadian di Taman, membuat Nabila semakin berkecil hati jika Rayhan akan kembali padanya.
Tangan Nabila turun menyentuh bagian depan dadanya, letak jantungnya berdetak.
Bahkan detakan untuknya lebih keras dari yang dulu, batinnya berujar.
Nabila tersenyum. Rasanya semakin manis setelah pernikahan dibandingkan saat mereka masih berpacaran. Mungkin karena saat berpacaran dulu, mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi.
Nabila menggelengkan kepalanya mencoba menghapus semua bayangan Rayhan sejenak. Ia harus membersihkan tubuhnya yang terasa lengket dan menyegarkan tubuhnya kembali.
Beberapa menit kemudian, Nabila sudah selesai. Ia membuka sedikit pintu kamar kamar mandi dan menyembulkan kepalanya lewat cela pintu. Ia mendesah lega saat kamar sedang kosong, Rayhan sudah pergi.
Nabila buru-buru keluar kamar mandi dan bersiap-siap. Pagi ini Nabila harus ke kampus untuk menemui dosen pembimbingnya. Dan ia tidak boleh telat untuk itu, mengingat jika Dosennya sangat disiplin dan tidak suka dengan keterlambatan.
Nabila sholat subuh terlebih dahulu. Karena bangun kesiangan, ia jadi tidak sempat sholat subuh tepat waktu.
20 menit kemudian, Nabila sudah siap dengan gamis cokelat muda dan jilbab senada dengan warna gamis. Sebuah tas pundak bertengger di bahunya, dan beberapa map ia pegang karena tidak muat di dalam tasnya.
Nabila berlari-lari kecil menuruni anak tangga. Setiap 10 detik sekali, matanya melirik ke arah jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Sisa 20 menit lagi, atau Nabila akan mendapatkan masalah serius.
"Liqi, sarapan dulu!" Sebuah suara bariton mengintruksi Nabila yang akan keluar rumah. Ia memutar tubuhnya 180 derajat dan melihat si pemilik suara.
"Nanti aja, Mas. Aku udah telat nih," ujar Nabila sambil melirik jam tangannya.
"Berapa menit lagi?" Tanya Rayhan yang sudah berdiri di samping Nabila dengan mengenakan kemeja hitam ketat yang mencetak bagian otot-otot tubuhnya, serta celana bahan hitam yang membungkus kaki jenjangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Uhibbuka Ya Hubby
Spiritual"Mulai hari ini, kita putus!" Bagai tersambar petir di tengah malam yang cerah, Nabila mendapat kabar yang amat mengejutkan dari sosok lelaki yang sejak tahun lalu ini menjadi kekasihnya. Nabila menatap lelaki bernama Rayhan itu dengan mata berkaca...