VII. Sebuah Dongeng

344 60 0
                                    


Hujan yang mengguyur sejak pagi tadi membuat aktivitas sekolah tak berjalan seperti biasanya, terutama pelajaran olahraga. Beberapa ada yang bersyukur, terutama para siswi yang enggan berpanas-panasan dan juga tidak bisa bermain basket. Beberapa lagi, mengeluh karena mereka tidak bisa bermain. Ya, hari ini adalah penilaian passing bola basket. Mereka berteduh di gazebo yang letaknya tak jauh dari lapangan.

Gabut. Hanya itu yang tersisa saat ini, apalagi jika ingin ke kantin mereka harus menyeberangi lapangan. Anak laki-laki memilih melakukan permainan dari alat seadanya, sementara para perempuan lebih memilih duduk sambil saling mengepang ataupun bergosip ria. Tapi tidak keduanya untuk Edel dan Lea. Mereka berdua memilih duduk di tangga untuk menuju gazebo dan menatap tetes-tetes air yang turun dari ujung atap.

"Kalo gini gue mending enggak usah ganti baju OR, nambah-nambahin cucian," rutuk Lea sambil menatap malas lapangan basket yang ada di hadapannya. Apalagi guru olahraga mereka, Pak Pras, yang tadi berpamitan pergi ke toilet tidak kembali hingga sekarang.

"Tahu gini gue mending ngelanjutin baca novel yang gue pinjem dari lo, Lay," sahut Edel sambil memantul-mantulkan bola bundar berwarna jingga yang ada di tangannya.

"Mental minjem lo," cibir Lea, selama ini dia tidak pernah melihat Edel membeli novel atau buku lainnya. Gadis itu hanya meminjam dari anak asrama putri lain.

Edel hanya nyengir sambil menatap Lea dan menggaruk tengkuknya, sementara tangannya yang kirinya masih memantul-mantulkan bola basket itu. Hingga tanpa sadar bola itu lepas dari tangannya dan menggelinding ke lapangan.

"Yah, yah, Del," ucap Lea sambil menatap bola basket berwarna jingga itu menggelinding ke tengah lapangan yang sedang disiram hujan lebat.

"Aih, Lay, gue harus gimana?" tanya Edel panik, apalagi tatapan para siswa lain yang tidak ingin mendapat amarah dari Pak Pras. Untung saja guru itu sedang pergi ke toilet jadi tidak melihat kejadian itu.

"Ya, ambil lah," jawab Lea masih dengan tatapan yang sama. "Lo kira bolanya bakal balik sendiri gara-gara takut masuk angin?"

Edel menatap Lea sendu. "Lo beneran nyuruh gue ngambil bolanya? Hujan-hujan gini?"

"Gue enggak nyuruh, Del, hanya menyarankan."

Edel menatap bola yang berada di tengah lapangan itu sejenak. Dia menghela napas panjang. Dengan segala pertimbangan yang ada, gadis berkucir ekor kuda itu bangkit. Melangkahkan kakinya menuruni anak tangga dengan gontai, seperti berjalan menuju kematian. Hingga sebuah tangan menahan langkahnya .

"Jangan hujan-hujanan, nanti lo sakit," peringat Rama sambil menahan tangan Edel yang hendak mengambil bola yang menggelinding ke luar lapangan itu.

"Tapi bolanya...." Kalimat Edel menggantung segera setelah dahi Rama berkerut penuh peringatan, pertanda dia tidak menerima alasan atau penolakan lagi dari Edel.

Gadis itu akhrinya menurut, membiarkan Rama yang melangkah menerobos rinai hujan dan mengambilkan bola basket yang ada di tengah lapangan itu untuknya. Lea dan Edel hanya menatap laki-laki yang berlari ke arah mereka sambil membawa bola basket itu dipelukannya. Dalam hati mereka berdua bertanya-tanya, kenapa Rama mau mengambilkan bola itu untuk Edel. Para anak laki-laki yang sudah sekelas dengan Edel selama bertahun-tahun sekali pun tidak akan mau mengambilkan bola itu.

"Nih," Rama menyodorkan bola itu dengan tetes air yang jatuh di setiap inchi tubuhnya dan Edel hanya menerima bola itu tanpa bersuara tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Rama yang basah itu.

"Jangan ceroboh lain kali," peringat laki-laki itu sebelum akhirnya pergi berlari menuju ruang ganti yang ada di gedung sekolah, menerobos hujan lagi.

You-niverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang