IX. Parents

372 56 1
                                    

Suara jarum jam yang berdetak bahkan terdengar cukup jelas di ruangan ini. Hanya dia seorang diri, laki-laki berkaus abu-abu itu tidak membiarkan satu orang pun masuk ke dalam sini. Bahkan cahaya matahari juga ia larang. Gorden merah marun itu membuat bayangan dengan warna yang sama di dinding berwarna krem itu, membiaskan sinar matahari yang tetap memaksa masuk.

Laki-laki itu menunduk, melipat tangannya tepat di atas meja sambil memejam. Apa yang Rama bilang tadi? Pergi bersama Lea? Dru tidak tahu harus bagaimana. Dari sekian banyak orang yang ada di kelasnya, dari tiga puluh orang yang ada. Kenapa adiknya itu tidak mencari teman laki-laki dan justru dekat dengan dua gadis itu? Dia mengurung Rama di dalam rumah selama bertahun-tahun untuk melindungi laki-laki itu. Dru hanya ingin satu-satunya keluarga yang ia punya tetap berada di sisinya.

Hanya itu.

Dru menegakkan tubuhnya, menyandarkan tubuhnya di kursi dan membiarkan kepalanya itu menggantung di udara. Membuat rambutnya yang memang sudah mulai panjang itu tersibak ke belakang. Suara hembusan napas panjang nan putus asa terdengar samar di sana. Selagi Rama menyukai seseorang tetapi tidak mengungkapkan perasaannya, itu tidak masalah. Karena jika Rama melakukan hal itu, semua usaha Dru akan menjadi sia-sia belaka.

Jemari laki-laki itu kemudian membuka laci meja yang ada di hadapannya. Mengambil sebuah buku tua yang kertasnya sudah mulai menguning dan juga sebuah pena. Dia menekan ujung pena itu, membuat pena tersebut keluar dari ujung yang lain dan siap untuk digunakan. Tapi tangannya menggantung di udara. Jemarinya bergetar, bahkan hanya untuk menuliskan sebuah kata di atas kertas itu, keringat perlahan mengalir di pelipisnya.

Ingatannya kembali berputar, tentang masa lalunya yang kelam akibat dia menuliskan sebuah kisah.

Dru masih belum siap.

Masih trauma dengan luka lama.

Akhirnya dia hanya bisa membanting pena itu ke atas meja, menyisir rambutnya ke atas menggunakan tangan dan menatap benda-benda itu sejenak. Dirinya dan Rama terikat takdir yang cukup kejam. Dru menghela napas berat lalu memasukkan benda-benda itu ke tempat asalnya. Tangannya itu bisa merubah segalanya, bahkan hidupnya sendiri tapi tidak bisa berbuat apa-apa bagi keluarganya dan itu membuat Dru muak.

-o0o-

Seperti para penghuni asrama lainnya, hampir setiap malam Edel menelpon ibunya. Walaupun hanya menanyakan hal-hal kecil atau bercerita tentang apa yang ia alami di sekolah. Kali ini pun begitu. Gadis itu berada di refter, mencari tempat yang sepi karena dia ingin bercerita tentang hal yang cukup privasi dengan ibunya. Ya, setelah bercerita tentang kehidupannya beberapa minggu terakhir di asrama, Edel akhirnya mulai membuka topik lain yang sebenarnya sedari tadi ingin ia ceritakan.

"Ma?"

"Iya, Sayang?"

"Aku lagi suka sama seseorang," bisik Edel pelan agar tidak ada orang yang mendengar selain mereka berdua, tapi dia tidak bisa menyembunyikan senyum yang mengembang di wajahnya.

Sementara itu, wanita di seberang sana hanya diam tak menyahut. Hanya suara gemeresak yang terdengar sambil sesekali suara gemuruh petir. Detik itu rasanya petir menyambar tepat di tubuh wanita yang melahirkan Edel tersebut. Bayang-bayang kejadian tiga tahun silam memenuhi kepalanya.

"Ma? Mama kok diem aja sih?" tanya Edel khawatir sekaligus kesal karena ibunya tak menyahut itu.

"Edelweis, bukannya Mama enggak mau kamu bahagia, tapi—"

"Ma, Edel udah sembuh," timpalnya setelah mendengar nada khawatir dari ibunya.

"Edel..."

You-niverseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang