w h y

2K 306 113
                                    


BAB 3 – WHY

Mengapa Semua Ini Bisa Terjadi?




***

Begitulah latar belakang mengapa semua tulisan ini dibuat.

Aku mengalami depresi. Dokter Yasmin, psikiater yang menangani terapi psikologisku, memintaku untuk kembali menulis. Tetapi, tentu saja tulisan ini tidak akan serunut bagaimana segalanya bermula karena perlahan-lahan, entah mengapa, aku kehilangan sedikit demi sedikit memori yang berkaitan dengan semua ini.

Aku adalah produk gagal di dalam keluargaku—dan aku menyebut semua ini bukan tanpa alasan. Kedua kakakku memiliki prestasi gemilang dalam dunia kedokteran dan IT, baik itu dalam taraf nasional maupun internasional. Kedua orangtuaku berprofesi sebagai dokter. Dan hanya aku—betul-betul aku seorang—yang putus kuliah di semester 3 karena mengalami depresi berat.

Ketika selama satu bulan, studiku kacau balau dan berat badanku menurun drastis karena kehilangan nafsu makan dan pola tidur yang sangat berantakan, aku sedikit-sedikit memiliki kecurigaan bahwa ada yang salah dengan kondisi mentalku. Aku memutuskan untuk mencari tahunya sendiri, hingga akhirnya, aku menemukan asumsi bahwa aku mengalami depresi.

Begitulah kurang lebih singkatnya sinopsis dari kisah hidupku. Tetapi, apa yang terjadi padaku tak semata-mata hanya disebabkan oleh ditinggalkan seseorang yang begitu kusukai selama tiga tahun belakangan. Tentu saja, tidak sekonyol itu. Dokter Yasmin berulang kali menjelaskan kepadaku bahwa apa yang terjadi kepadaku tidak sesederhana alasan roman picisan. Kepergian dia hanya memicu api itu menjadi lebih besar. Ada proses panjang yang disertai bertumpuk kesalahan sehingga menyebabkan segalanya menjadi separah ini.

"Jadi, gimana, Dek? Kamu mau nyoba SBMPTN lagi, 'kan?" begitulah percakapan pembuka yang melatarbelakangi terjadinya semua hal ini—kurasa, karena sejak hal tersebut bermula, beban inilah yang menjadi pemicu dari tumbuhnya bibit-bibit setan yang seringkali berteriak-teriak di dalam kepalaku setiap aku merasa ingin bunuh diri.

Aku menggigiti bibirku hingga kulit-kulit kering yang menempel di sana jadi terkelupas. Kudengar suara embusan napas dari pengeras suara di ponselku yang menandakan bahwa panggilanku masih tersambung dengan Ibu. Jantungku berdebar keras, terjebak di antara keputusan untuk menjawab ya atau tidak.

Sejujurnya, aku mulai menyukai jurusanku ini—Arsitektur. Sewaktu SMA, aku sangat suka menggambar dan melukis (aku tahu bahwa Arsitektur bukan hanya sekadar menggambar, tetapi skill itu dapat dijadikan modal dasar untuk jurusan ini) meski tidak sebesar minatku terhadap dunia Sastra Indonesia. Hanya saja, tentulah mengajukan jurusan Sastra Indonesia kepada kedua orangtuaku yang sangat konservatif, yang berpikir bahwa jurusan prestisius hanyalah kedokteran atau sesuatu yang berhubungan dengan teknik, sama saja dengan bunuh diri.

Aku berada di jurusan Arsitektur karena lolos jalur SNMPTN di pilihan ketiga, setelah gagal mendapatkan FKUI dan FK Undip. Aku sempat mencoba Ujian Tertulis dengan pilihan jurusan Kedokteran di UGM dan sayangnya kembali gagal. Itulah alasannya mengapa kedua orangtuaku pada akhirnya, pasrah melepasku untuk mengambil jurusan ini, yang menurut mereka tidak buruk-buruk amat meski mereka tampak sedikit malu untuk mengakui bahwa anak bungsunya hanya berhasil masuk jurusan Arsitektur dan bukannya di jurusan kedokteran atau IT seperti anaknya yang lain.

"Aku udah nyaman di sini, Bu," jawabku pelan sekali saat itu, begitu pelannya sampai Ibu menjawab, "Apa?" meski aku tahu bahwa pertanyaan itu hanyalah pertanyaan retoris. Aku tau Ibu masih bisa mendengar jawabanku, tetapi ia memilih berpura-pura tuli karena tahu bahwa anaknya tidak akan mungkin menolak permintaannya. Ibu tahu dengan jelas bahwa aku telah bermimpi untuk menjadi dokter sejak aku kecil. Jurusan Arsitektur bukanlah jawaban yang tepat untuk mimpiku itu.

LabirinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang