BAB 6 - WHO
Siapakah Aku Sesungguhnya?
***
"Saya paham sekarang," mulaiku dengan suara amat pelan, membuat ruangan Dokter Yasmin yang sebelumnya begitu lengang menjadi sedikit lebih hidup. Dokter Yasmin menatapku dengan penuh perhatian, menungguku untuk menyelesaikan ucapan yang barusan kupotong dengan jeda. Aku menarik napas, sebelum akhirnya melanjutkan ceritaku.
"Dia meninggalkan saya bukan semata-mata karena saya buruk, tidak berharga atau sebagainya," entah mengapa, aku tertarik untuk kembali menyisipkan hening dalam ucapanku. Dokter Yasmin masih menanti ceritaku dengan sabar.
"Dia pergi karena memang dia mau. Karena memang dia tidak lagi memiliki ketertarikan untuk tetap menahan dirinya berada di sekitar saya. Semua ini bukan semata-mata kesalahan saya, saya rasa, otak saya terus mempersonalisasikan semua ini sebagai kesalahan saya karena ini adalah bagian dari distorsi kognitif, seperti yang dulu Anda katakan kepada saya."
Aku melirik Dokter Yasmin sejenak. Kacamata yang membingkai matanya cukup berhasil menyembunyikan tatapannya yang terlihat lelah. Ada segaris senyum amat tipis terulas di wajah wanita itu.
"Ini adalah distorsi kognitif dengan jenis personalizing, yang membuat saya jadi merasa bersalah dan harus bertanggung jawab secara personal atas sesuatu yang sebetulnya belum tentu kesalahan saya. Ibarat sebuah kasus, sebabnya adalah diri saya sendiri dan akibatnya adalah dia pergi. Otak saya mendefinisikan bahwa kepergian dia adalah sepenuhnya kesalahan saya. Maka dari itu, saya terus menerus berpikir bahwa saya tidak layak ada di dunia ini dan merasa tidak berharga
"Anda juga mengatakan kepada saya, saya seringkali terjebak dalam distorsi kognitif all or nothing yang membuat saya berpikir hanya di dua titik ekstrem; betul-betul berhasil atau gagal total. Tidak ada ruang di dalam pola pikir saya untuk menghargai proses. Jika saya tidak mampu memenuhi standar ideal yang saya buat sendiri, maka artinya, saya sudah gagal total. Padahal sedikit kecacatan dalam usaha tak berarti saya tidak berhak mendapatkan apresiasi. Mungkin ini juga bisa dimasukkan dalam kategori distorsi kognitif pemikiran 'harus', yang membuat saya jadi terjebak dalam standar ideal yang harus saya penuhi."
Napasku terengah-engah, entah mengapa jantungku berdetak lebih cepat. Aku merasa seakan-akan kecepatan dari aliran darah di tubuhku ikut meningkat sebagaimana kinerja dari otot jantungku. Aku merasa seakan-akan ada sesuatu yang mengisi kembali energi dalam tubuhku. Sebuah semangat, sebuah keyakinan dan harapan baru.
"Tiga kesalahan logika dalam berpikir ini membuat saya menyimpulkan dengan seenaknya, jika ada kegagalan yang menimpa saya, semua itu adalah karena ada yang salah dalam usaha saya. Kemudian, distorsi kognitif personalizing mengambil alih, sehingga saya berpikir bahwa kesalahan itu sudah pasti menjadi tanggung jawab saya. Padahal, sebetulnya, semua pemikiran itu belum tentu benar. Di dunia ini, memang ada yang namanya hukum aksi-reaksi, seperti apa yang dijelaskan dalam Hukum III Newton. Tetapi, apa yang dilakukan manusia tidaklah sesederhana itu. Pola pikir manusia dan apa yang terjadi dalam semesta ini jauh lebih kompleks daripada semua itu.
"Saya memberikan aksi positif kepada dia. Memperlakukan dia dengan sangat baik. Menjadi pendengar yang baik untuk dia. Berusaha menyenangkan dia. Sampai saya lupa untuk membahagiakan diri saya sendiri. Saya terlalu memberikan segala yang saya punya—perhatian, kasih sayang, dan cinta—kepada dia sampai saya merasa bahwa saya tidak memiliki apa pun yang berharga lagi bagi diri saya."

KAMU SEDANG MEMBACA
Labirin
Fiksi RemajaLintang Diatri mengalami depresi. Mulanya, dia mengira bahwa depresi itu terjadi karena kepergian seseorang yang telah diam-diam disukainya selama tiga tahun. Namun, menurut Dokter Yasmin, psikiater yang menangani terapi psikologisnya, alasan datang...