w h e n

3.1K 352 12
                                    


BAB 2 – WHEN

Kapan Semua Ini Berakhir?




***

"Saya baru saja membeli sebuah buku," mulaiku hari itu, dengan nada tidak tertarik sama sekali pada topik pembicaraan yang tengah kubawakan.

"Selama empat hari, saya berusaha menyibukkan diri dengan mengisi buku itu. Saya berusaha membuat apa-apa saja yang berharga dari diri saya. Saya mencatat kutipan tentang self-love yang saya temukan di internet. Saya juga membuat cognitive restructuring form setiap kali saya mulai memikirkan hal-hal yang negatif tentang diri saya, seperti yang Anda tugaskan pada saya dua minggu lalu. Saya sempat lupa dengan kesedihan saya karena kepergian dia."

Aku melirik Dokter Yasmin yang, seperti biasanya, tengah sibuk mencatat-catat sesuatu di buku sucinya ketika aku bercerita. Aku sungguh tidak begitu berminat untuk menceritakan bagian yang ini, tetapi aku tahu bahwa aku harus melakukannya agar cerita ini tidak terasa pincang di satu sisi.

"Saya terlalu sibuk menghias dan mengisi buku itu sampai saya lupa kalau Anda memberi saya tugas baru. Lalu, saya kerjakan di sisa satu hari terakhir—kemarin. Siangnya, saya merasa sangat baik dan seperti mendapat keberanian yang sangat besar untuk membuat kebahagiaan baru.

"Tetapi, malamnya, entah kenapa saya malah kembali kacau. Rasanya jadi lebih berat untuk melewati semua itu karena selama empat hari terakhir, saya merasa cukup baik meski masih sesekali merasa hampa. Selama empat hari itu, saya tidak menangis sama sekali dan setiap saya mulai memikirkan hal-hal negatif yang berlebihan, saya memaksa diri saya untuk tidur saja. Tetapi, setelah mengerjakan tugas dari Anda, saya justru malah jadi semakin merindukan dia meski saya sudah tahu kalau hipotesis Anda benar. Saya hanya jatuh cinta pada perasaan saya terhadap dia."

Aku tahu kalau dalam terapi kali ini, aku tidak sekacau kemarin dan nada bicaraku jauh lebih terjaga. Saat ini, Dokter Yasmin pasti bisa mendeteksi bahwa penjelasanku barusan adalah titik finalnya. Aku sudah tidak memiliki perbendaharaan kata lain untuk digunakan dalam mendeskripsikan keadaanku kemarin, kecuali hanya jika Dokter Yasmin memancingku untuk menjelaskan lebih jauh dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan yang dia ajukan.

Tetapi, Dokter Yasmin memang selalu menjadi orang yang cukup mengejutkan. Di antara semua pertanyaan yang mungkin dilontarkan untuk membalas penjelasanku, ia justru menjawab, "Dan, lalu?" sambil melirikku sebentar sekali, seperti seorang ibu yang mendengarkan ocehan anaknya tentang anak tampan di sekolah di tengah kesibukan dalam menyelesaikan pekerjaan kantor yang dibawa ke rumah.

"Lalu...." ucapan itu kubiarkan menggantung di udara karena aku berusaha mencari padanan yang tepat untuk kalimat selanjutnya, "saya membuat perbedaan antara momen dan bagian yang membahagiakan dari dia. Sangat mudah bagi saya untuk menuliskan apa-apa saja yang membuat saya begitu merindukan kehadiran dia. Tetapi, begitu mencapai bagian dirinya, saya agak kesulitan dan bahkan beberapa, yang terlintas hanya ingatan-ingatan buruk...."

Aku terdiam sejenak, baru menyadari alasan mengapa tiba-tiba, meski aku sempat merasa begitu merdeka karena mengetahui bahwa yang menghancurkanku selama ini adalah kerinduan terhadap momen manis dan bukannya orang yang kuanggap sebagai cintaku selama ini, aku justru malah kembali jatuh depresi dan merasa ingin lenyap dari muka bumi. Lagi.

"Saya rasa itulah alasannya kenapa saya jadi kembali kacau kemarin. Analisis itu membuat saya jadi mengingat momen-momen bersama dia lagi dan sesungguhnya memang itulah pemicunya. Empat hari sebelumnya, saya merasa cukup normal karena saya bergerak, otak saya melakukan banyak distraksi dengan mengisi buku itu." Aku menarik napas dengan berat. Menjelaskan semua ini rasanya seperti membakar seperempat kalori di dalam tubuhku—terasa begitu melelahkan dan membuatku ingin tidur sepanjang hari saja.

LabirinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang