w h e r e

1.6K 266 41
                                    


Bab 4 - WHERE

Di Mana Kegelapan Mulai Bertransformasi?




***

Aku masih ingat buku sastra pertamaku adalah pemberian dari Eyang Kakung, ayah dari Ibu.

Eyang Kakung adalah seorang sastrawan pada zaman Orde Lama bahkan pernah ditangkap dan diasingkan ke pulau yang aku sendiri tidak pernah mendengar namanya. Beliau berkerabat dekat dengan sastrawan terkenal seperti Pramoedya Ananta Toer dan beberapa pejuang revolusioner lainnya. Aku banyak membaca buku sastra lama karena di rumah Eyang Kakung, tersimpan berpuluh-puluh buku dari mulai yang fiksi sampai nonfiksi yang sempat dilarang pada Zaman Orde Baru sekalipun.

"Buku-buku ini adalah teman setia Eyang, Lintang," ucap Eyang Kakung kepadaku sewaktu beliau pertama kali membawaku ke ruang perpustakaannya. Saat itu, umurku masih tujuh tahun dan ia menyodorkanku sebuah buku karangan Pramoedya yang berjudul Bukan Pasar Malam. Tentu saja, aku tidak membacanya saat itu juga karena melihat sampulnya saja sudah membuatku tidak berselera. Aku baru membaca buku itu saat aku masuk SMP, tepat setahun sebelum Eyang Kakung pergi dari dunia ini untuk selamanya.

"Ketika dulu, teman dan lawan seperti ndak lagi bisa terkenali, buku-buku adalah satu-satunya kawan yang paling jujur, yang tidak akan mengkhianati Eyang meski kami berbeda idealisme dalam hal berpolitik," Eyang tampak seperti tengah menerawang sesuatu. Pandangannya yang seumpama terbawa entah ke portal waktu bagian mana, membuatku begitu bersemangat untuk mendengarkan lebih jauh meski kadang-kadang, ada banyak hal yang tidak kumengerti dari ucapannya itu.

"Orang-orang bilang, semakin kita bertambah umur, maka akan semakin sedikit teman yang kita miliki. Alasan sebetulnya, semata-mata bukanlah karena pertambahan umur, namun karena sikap dari manusia itu sendiri. Semakin kita lama hidup di dunia ini, semakin besar jiwa ketamakan yang mendewasa dan mendarah daging dalam diri kita. Dan ketamakan itulah yang membuat kita jadi terlalu banyak menimbang-nimbang keuntungan dan kerugian hanya untuk berkawan dengan seseorang.

"Semakin terlalu banyak berpikir, semakin kita berpotensi untuk terjebak dalam pikiran kita sendiri. Padahal kadang untuk memulai kasih sayang, kita tidak perlu banyak menimbang-nimbang. Kita hanya perlu merasakannya, karena kasih sayang bukanlah soal matematika yang harus diperhitungkan," Eyang menjelaskan hal itu sembari mengelus-elus buku tua berjudul Madilog yang ada di pangkuannya. Seakan-akan benda itu adalah fosil dari kekasih lamanya saat zaman prasejarah.

Begitulah percakapan sederhana itu memulai banyak lembaran filosofi baru dalam hidupku. Dimulai dari aku yang jadi mengenal dunia sastra, sampai nilai yang kuanut dalam menyayangi orang lain. Eyang mengajarkanku untuk tidak menyayangi seseorang dengan perhitungan. Mulanya, aku menganggap bahwa pola pikir seperti itu adalah sungguh sebuah filosofi yang sangat mulia karena kasih sayang yang kita berikan akan memiliki kemerdekaan dan tidak terjajah oleh ketamakan manusia itu sendiri.

Hanya saja, belakangan aku menyadari bahwa adakalanya, kita juga memerlukan kontrol atas sesuatu yang mahabaik sekalipun. Filosofi itu terlalu mendarah daging di dalam tubuhku dan membuatku terpenjara oleh kasih sayang yang aku miliki kepada orang lain. Pedoman hidup yang kemudian berbalik menguasaiku dan menuntunku untuk menjadi pribadi yang sangat menggantungkan kebahagiaan kepada keberadaan orang lain—dan bukannya menciptakan kebahagiaan itu untuk diriku sendiri.

***

Tujuh tahun setelah menerima nasihat itu, aku berjumpa dengan sebuah peristiwa sakral yang disebut orang-orang sebagai momen jatuh cinta pada pandangan pertama.

LabirinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang