"Orang yang tak pernah memperlihatkan rasa terlukanya, tidak selalu bisa dikategorikan kuat. Boleh jadi ia lupa bagaimana seharusnya bersikap tatkala terluka setelah terlalu lama sembunyi di balik topeng pura-pura."—One Last Time [05] LS.
***
"Jadi, Daddy kenapa, Dok?"
Dokter yang nyaris sebaya dengan kakek dari anak itu hanya mengurai senyum tipis. Ada rasa haru setiap kali melihat bagaimana Abizar dan Gema saling menyayangi. Sebagai dokter pribadi keluarga ini, ia mengetahui banyak hal. Termasuk tentang siapa Gema. "Gastritis akut. Saat sibuk bekerja, Daddy kamu memang sering menunda-nunda makan. Jadinya seperti itu."
Gema melemparkan tatapan kesal pada sang ayah. Pria itu mengingatkannya makan setiap waktu, tetapi lihatlah kondisinya sekarang, terbaring menyedihkan karena kecerobohannya sendiri.
"Ge, nanti ini obatnya ditebus di apotek, ya," kata Dokter Bayu lagi sembari menyerahkan selembar kertas berisi resep untuk Abizar. Tatapannya beralih pada lelaki yang kini terbaring di ranjang. "Abi, benahi pola makan kamu mulai sekarang. Dan yang terpenting, jangan terlalu banyak pikiran."
"Marahin aja, Dok. Daddy tuh giliran sama orang lain mulutnya bawel ngomel terus nyuruh ini sama itu. Eh, dirinya sendiri dibiarin sakit," ujar Gema keki.
Abizar memaksakan seulas senyum menanggapi celotehan putranya. "Daddy baik-baik aja."
"Aku marahnya nanti. Sekarang mau antar dokter ke depan dulu. Dadah Daddy, siapin kupingnya buat dengerin aku ngomel."
Abizar mengembuskan napas lega melihat putranya keluar. Sungguh, ia tak pernah ingin terlihat lemah di depan putranya. Sebagai satu-satunya orang yang mungkin dijadikan tumpuan oleh Gema, Abizar tentu saja malu.
Asik dalam lamunan. Terpenjara keheningan. Tiba-tiba saja sekelumit kisah di masa lalunya melintas kembali. Ia ingat bagaimana Kiara memperlakukannya ketika sakit dulu. Meskipun belum saling mencintai, tetapi masing-masing memiliki kesadaran untuk melindungi satu sama lain.
"Mas Abi sakit?"
Abizar tak bersuara, dan memilih menenggelamkan kepalanya di balik selimut. Rasa dingin yang dominan membuatnya malas bicara terlalu banyak.
Perempuan yang kala itu tengah dalam kondisi mengandung tahu-tahu berbaring di sampingnya, memeluk Abizar, dan menyalurkan kehangatan. Untuk beberapa saat ia terpana. Namun detik berikutnya Abizar tenggelam dalam kehangatan yang diberikan istrinya.
Saat itu memang belum ada cinta. Kiara yang selalu menolaknya tak sekalipun membuat Abizar ingin beranjak dari sisi perempuan itu. Kiara Sabina Anindya, si perempuan rapuh dengan segala keangkuhannya telah berhasil membawa lari separuh hati Abizar. Perempuan angkuh yang tak pernah ingin memperlihatkan sisi lemahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Last Time
JugendliteraturAku dibesarkan dalam kebingungan Dituntun berjalan menapaki lorong ketidakadilan Jika memang tak pernah diharapkan Mengapa hari itu aku tak lantas ditiadakan? Percuma dilahirkan hanya untuk bermukim dalam sepi Disudutkan ribuan tanya tanpa jawaban p...