[48] Lupa

6.5K 787 74
                                    

Setelah satu minggu dirawat akibat terserang demam berdarah, hari ini akhirnya Septian diperbolehkan pulang. Rasanya membosankan terkapar di pembaringan selama berhari-hari. Lelaki itu jadi berpikir, kalau ia saja yang hanya satu minggu merasa bosan tak kepalang, bagaimana Gema yang nyaris setiap harinya dihabiskan di rumah sakit?

Bicara soal Gema, sudah beberapa hari ini Septian tidak melihatnya. Gema hanya terlihat di hari pertama dan kedua Septian dirawat, sisanya anak itu tak lagi menampakkan batang hidungnya.

"Pa, aku mau enggak mau langsung pulang. Mau lihat Gema dulu."

"Lebih baik kamu pulang dulu, Yan. Gema juga belum bisa dijenguk."

"Kenapa, Pa?"

Ryan menghela napas panjang, kemudian mulai menceritakan apa yang terjadi pada Gema. Hari pertama dan kedua saat Septian dirawat, sebenarnya Gema sudah demam. Diperparah dengan mual, muntah, diare, yang dirasakan bergantian. Nafsu makannya juga terjun bebas karena sariawan.

Kemoterapi kedua terpaksa ditunda karena kondisi tubuh Gema tidak stabil. Hemoglobinnya hanya berada di kisaran 10 g/dL dari nilai normal 14 - 17.4 g/dL. Leukositnya pun rendah, membuat anak itu rentan terhadap infeksi. Dan kemarin, karena sesak napas hingga tak sadarkan diri, akhirnya Gema dilarikan ke ruang PICU.

Septian hanya ternganga mendengar cerita sang ayah. Ia tidak menyangka selama beberapa hari tidak bertemu, Gema mengalami banyak hal. "Aku mau ke sana, Pa."

"Yan, sekali ini dengar Papa. Masih ada besok. Sekarang kita pulang dan besok Papa temani kamu ke sini."

"Kita mungkin masih punya besok. Sementara Gema?"

"Yan, kenapa kamu bicara seperti itu? Enggak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok. Kita juga enggak bisa menjamin bahwa si sehat bisa tinggal lebih lama, sedangkan si sakit berpulang lebih dulu."

Septian tertunduk. Ia bukan pesimis, hanya saja ... terlalu banyak keanehan pada Gema akhir-akhir ini. Kondisinya pun tidak bisa dibilang semakin membaik. Justru terlihat kian menurun.

"Ayo pulang. Papa janji, besok kita ke sini lagi. Kamu masih butuh banyak istirahat."

***

Gema lebih sering tidur sekarang. Terjaga hanya saat Abizar menyuapinya makan, atau merasa sesak. Kemoterapinya kembali harus ditunda karena kondisinya tidak stabil. Abizar takut kalau itu akan berpengaruh pada perkembangan penyakit Gema.

Sesaat setelah Gema kembali ke kamar rawatnya, Abizar tidak bergerak sedikit pun dari sisi putra kesayangannya. Kiara, Adam, dan Rahmi yang bergantian meminta lelaki itu beristirahat, sama sekali tak didengar.

"Mas, lebih baik kamu tidur. Sebentar aja," bujuk Kiara.

"Gema nanti bangun. Dia pasti butuh aku."

Kiara mengembuskan napas lelah. Keras kepala sekali suaminya ini. "Kamu enggak percaya sama aku? Aku juga Mommy-nya kalau kamu lupa. Aku enggak minta kamu pulang, Mas, tapi tolong tidur sebentar. Sebelah sana ada sofa. Kalau kamu sakit, Gema pasti sedih."

Adam dan Rahmi tak banyak bicara. Mereka pun sempat melakukan hal yang sama, tetapi Abizar sama sekali tak mendengar. Padahal, di antara mereka semua jelas Abizar paling lelah, mengingat Gema begitu bergantung padanya.

Merasa nada bicara Kiara meninggi, Abizar akhirnya mengangguk patuh. Malas berdebat. Ia memang harus tidur agar nanti malam bisa berjaga penuh.

Lelaki itu mengayunkan kaki jenjangnya ke arah sofa. Sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyum saat melihat sang mama mertua memposisikan bantalnya di sofa agar ia merasa nyaman.

One Last TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang