Cukup lama Septian menunggu dengan perasaan cemas sampai pemuda yang kini terkapar di ranjang unit kesehatan mulai membuka mata. Beberapa menit lagi saja Gema tak juga sadar, ia berencana menghubungi Abizar. Untung saja kesadaran anak itu kembali dengan segera.
"Apa yang sakit?" Itulah hal pertama yang Septian tanyakan tatkala kedua netra sahabatnya terbuka sempurna.
"Yan, jangan bilang Daddy," mohon Gema.
"Pertanyaan gue jawab dulu!"
"Janji dulu."
Lelaki itu berdecak kesal melihat raut melas Gema. "Gue enggak akan bilang apa pun kalau Om Abi enggak nanya, tapi kalau ditanya, ya, gue bakal ja--"
"Kak, please."
Septian memutar bola matanya. Anak itu memang menyebalkan, tahu sekali kelemahannya. Sejak SMP, selalu berhasil meruntuhkan pertahanannya dengan panggilan itu. Walaupun keduanya sepakat untuk memanggil nama satu sama lain, tetapi sebutan kakak memang begitu Septian harapkan. "Oke. Sekarang apa yang sakit? Kenapa lo bisa dihukum kayak tadi?"
"Kaki, Yan. Tadi dihukum gara-gara tidur di kelas."
Tanpa pikir panjang, Septian sedikit bergeser, lalu membuka sepasang kaos kaki yang melekat di kaki Gema dengan cekatan. "Ge, ini makin bengkak dan pasti sakit banget. Lo bego apa gimana sih? Nekat sekolah. Harusnya lo ikutin apa kata Om Abi kemarin, ke dokter!"
"Daddy pasti cemas dan bisa-bisa nyuruh gue pensiun dini dari sepak bola. Gue enggak mau. Lo tahu sendiri, Yan, kalau jadi pemain bola itu mimpi terbesar gue."
"Lo harusnya merasa beruntung karena ada yang mencemaskan lo di saat sakit. Itu tandanya dia sayang sama lo. Sekarang pikir lagi deh, dengan biarin kaki lo tetap seperti ini apa mungkin impian lo bisa terwujud? Enggak, Ge."
Gema diam.
Septian pun melakukan hal yang sama. Namun, dalam diamnya lelaki itu tengah berusaha mengingat kembali apa yang pernah terjadi pada Gema dan pertandingan terakhirnya semasa SMP. Hari di mana Gema mengalami cedera serius yang mirisnya justru dihujami berbagai komentar negatif dari teman-teman satu sekolahnya.
Gema yang sebenarnya dilanggar oleh Ken-siswa SMP Delta Harapan-luput dari perhatian wasit. Alhasil pihak lawan yang diunggulkan, sementara Gema dicaci sana-sini karena dianggap berpura-pura. Sejak saat itu Gema seperti kehilangan performa terbaiknya.
"Yan, lo diam bukan lagi mikirin cara buat ngadu sama Daddy, 'kan?"
"Enggak."
Gema mengembuskan napas lega. Apa yang dikatakan Septian tadi ada benarnya, tetapi ia juga belum siap kalau seandainya sang ayah tiba-tiba memintanya berhenti bermain bola.
***
Abizar melangkah gontai memasuki rumah megah yang didominasi cat warna putih. Tak banyak yang berubah setelah terakhir ke sini dulu. Sebenarnya terlalu menyedihkan kalau harus menginjak rumah ini lagi, tetapi ada yang harus diluruskan.
Seorang pelayan yang sedang membersihkan pekarangan rumah ibu mertuanya langsung melontarkan sapaan ramah, yang dibalas seperlunya oleh Abizar.
"Siapa, Bi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
One Last Time
Teen FictionAku dibesarkan dalam kebingungan Dituntun berjalan menapaki lorong ketidakadilan Jika memang tak pernah diharapkan Mengapa hari itu aku tak lantas ditiadakan? Percuma dilahirkan hanya untuk bermukim dalam sepi Disudutkan ribuan tanya tanpa jawaban p...