[6] Serangan pertama

11.3K 1K 137
                                    

"Tak semua orang bisa terus bersembunyi dalam diam. Karena ketika mulut terkatup rapat, tak jarang hati justru mengaduh sakit." —One Last Time [06] LS.

***

Gema tak bisa tidur dengan nyaman. Meski pelan, beberapa kali ia terdengar mengaduh menahan sakit. Setelah dirasa-rasa lagi, titik sakitnya itu bukan dari pergelangan kakinya, tetapi di area dekat mata kaki. Hanya saja bengkaknya meluas.

Pemuda itu menutup mata, berusaha tidur dan menyingkirkan kesakitannya segera. Namun nihil. Seperti ada ribuan jarum yang menusuknya berulang di bagian yang sama.

Dengan tubuh yang sudah bermandi peluh, Gema bangkit dari tidurnya. Pandangannya menerawang, mengingat kembali apa saja yang terjadi saat pertandingan kemarin. Berkali-kali mengalami cedera, baru sekarang Gema merasakan sakit yang teramat sangat. Padahal kalau diingat lagi, bagian yang sakit saat ini sama sekali tak tersentuh oleh mereka.

Gema dijatuhkan di kotak terlarang. Andi yang bertugas mengamankan lini belakang terpaksa menyenggolnya kasar karena Gema dianggap mengancam pertahanan. Hingga akhirnya SMA Vegas dihadiahi sebuah penalti.

Pelanggaran-pelanggaran lain pun tak sampai membuat Gema harus meninggalkan lapangan lebih cepat. Namun, entah apa yang terjadi padanya sekarang.

Merasa frustrasi dengan kondisi kakinya yang tak juga membaik, Gema melangkah keluar kamar hendak mengambil obat untuk meredakan sakitnya.

Begitu sampai di lantai bawah, Gema langsung mengacak-acak isi kotak obat.

"Yang mana, ya?"

Anak itu tampak menimang-nimang, obat mana kira-kira yang berefek cepat melenyapkan kesakitannya. Pilihannya jatuh pada salah satu obat paten dengan kandungan ibupofen di dalamnya.

"Ge, lagi ngapain?"

Gema terkejut, bahkan satu strip obat di tangannya terjatuh. Ia berbalik, dan langsung dihadapkan pada sorot penuh selidik sang ayah. "Daddy kok bangun? Kalau ada apa-apa harusnya bilang aku aja."

Abizar mengabaikan cerocosan putranya, dan memilih bergerak lebih dekat. Melihat rambut putranya yang lepek dan sedikit basah jelas saja menambah kecurigaannya. "Badan kamu kenapa dingin kayak gini?" tanyanya kemudian saat berhasil menyentuh wajah anak kesayangannya itu. "Duduk dulu," lanjutnya sembari menggiring Gema untuk duduk di sofa.

"Ini keringat, Dad. Aku gerah."

"Kamu bohong tentang Dokter Bayu, dan sekarang lagi? Akan selalu ada kebohongan-kebohongan lain setelah yang pertama, Ge. Daddy enggak suka kamu jadi pembohong."

Kepala Gema yang semula tertunduk, diangkatnya perlahan. Membawa Dokter Bayu dalam kebohongannya tadi memang salah besar. Pasalnya sang ayah begitu dekat dengan dokter itu, dan apa pun yang membuatnya ragu pasti akan segera ditanyakan. Dokter Bayu juga tak pernah bisa berkata bohong.

"Kaki aku sakit, Dad. Tapi, enggak apa-apa kok. Masih bisa ditahan."

"Masih bisa ditahan kok kelabakan cari obat," kata Abizar lagi dengan nada sinis. Bukan marah, ia hanya kesal karena Gema berani berbohong. Padahal sebelumnya anak itu terbuka mengenai apa pun.

"Maaf, Daddy."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
One Last TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang