[9] Si anak nakal

8.9K 956 107
                                    

"Sakit yang sesungguhnya itu adalah ketika seseorang mengumbar senyum dan mengeluarkan pernyataan bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi tubuh memberikan reaksi sebaliknya."—One Last Time [9] LS.

***

Baby Ge
Daddy, aku berangkat sekolah dulu. Kalau udah bangun, Daddy langsung sarapan oke? Love you, Dad.

Abizar mendengkus kesal membaca pesan yang dikirim putranya. Anak itu pergi lebih pagi pasti karena berniat mangkir dari pemeriksaan. Sejak kecil, Gema selalu saja begitu. Ketika sudah parah dan benar-benar tak bisa bangun, baru dia patuh.

Gara-gara mengobrol dengan Gema sampai menjelang pagi, Abizar jadi kesiangan dan secara tidak langsung memberi kesempatan putranya untuk kabur. Strategi yang bagus. Memang dasar anak nakal.

Me
Daddy baru bangun dan kamu udah kabur.
Naik apa ke sekolah? Emang uang jajannya masih ada?

Gema
Enggak kabur, cuma pergi lebih awal. Naik taksi online dong. Masih, Dad. Kata Daddy kemarin aku enggak boleh boros.

Me
Sarapan dulu enggak?

Gema
Nanti aja di sekolah, Dad.

Tentu saja Abizar tak mudah percaya. Jika tidak sarapan dari rumah, anak itu pasti malas juga sarapan di sekolah. Sebelum berangkat ke kantor nanti mungkin ia akan ke sekolah putranya lebih dulu untuk menitipkan bekal.

***

"Abang ... Abang, udah di sini aja," titah Gema.

Sang supir mengernyit heran. Mereka belum sampai tempat tujuan, tetapi mengapa penumpangnya ini minta berhenti sekarang?

"Ini uangnya, kembaliannya ambil aja. Nanti aku kasih bintang lima juga. Makasih, ya, Bang," kata anak itu lagi sembari menyerahkan selembar uang kertas berwarna biru.

Gema bergegas turun dari mobil karena harus berjalan cukup jauh untuk sampai sekolah. Entahlah, melihat teman-temannya berjalan beriringan menuju sekolah rasanya lebih menyenangkan daripada diantar naik mobil sampai depan gerbang, tetapi sendirian.

Ia berjalan sedikit terpincang. Dengan senyum lebar, Gema menyapa satu per satu orang yang dilewatinya. "Hai, Kakak. Hai teman."

Semangatnya tak surut kendatipun kakinya sedang sakit sekarang. Gema tidak ingin kesakitan itu mengalahkannya. Sebagai pemain bola, di mana kaki dan strategi menjadi modal utama, tentu ia harus memberikan perlawanan sengit pada rasa sakitnya. Kaki, jangan nakal, ya. Seenggaknya sampai aku jadi pemain timnas. Eh, sampai aku jadi pemain dunia dan ketemu Om Ronaldo.

Keyakinan itu yang selalu ditanamkannya dalam hati. Gema percaya, ketika kita berusaha menjadi lebih kuat, rasa sakit pasti malu dan akan pergi dengan sendirinya. Ayahnya mungkin bisa mengantarkan Gema kemanapun, termasuk menemui atau sekadar menonton langsung pertandingan pemain bintang berjuluk CR7 itu. Namun, Gema ingin ada di sana karena pencapaiannya sendiri. Tak peduli, setua apa idolanya itu nanti ketika bertemu. Salah satu daftar mimpi yang harus direalisasikan.

***

"Tian, Gema itu lucu, ya."

Septian terkekeh mendengar penuturan Rossa yang tiba-tiba. Sepertinya adegan ayah dan anak kemarin cukup mengejutkan bagi gadis itu. Saat ini memang sulit sekali menemukan kejadian serupa. Anak laki-laki cenderung gengsi menunjukkan perasaannya, apalagi pada sosok ayah. Namun, tidak dengan Gema.

One Last TimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang