"Menyalahkan orang lain atas suatu keadaan bukanlah pilihan, melainkan bentuk lain sebuah keputusasaan."—One Last Time [7] LS.
***
Abizar tak beranjak sedikit pun dari samping putranya. Anak itu kembali tidur setelah meminum obat penurun demam juga disuntik pereda nyeri. Padahal ini sudah sore, tapi Gema belum juga memperlihatkan tanda-tanda akan bangun. Sejujurnya, inilah yang ia takutkan sejak dulu. Gema cedera. Dan sepertinya kali ini cukup serius.
Mendengar pengakuan Gema pada Dokter Bayu tadi pagi, membuat Abizar sadar kalau anak itu sangat kesakitan.
Kedua netranya bergerak memindai seluruh isi ruangan. Ada beberapa medali dan piala yang dipajang apik di salah satu sisi kamar. Penghargaan yang berhasil diraih Gema sejak anak itu masih berseragam putih merah, meski tak semua piala bisa dibawa pulang oleh siswa. Hanya kemenangan individual saja, seperti saat Gema SMP dan berhasil menyabet gelar pemain terbaik dalam pergelaran sepak bola antar sekolah di Jakarta. Tercatat sebagai pencetak gol terbanyak pun pernah.
Namun sayang, pertandingan terakhirnya semasa SMP membuat Gema tak bisa bermain optimal lagi sampai sekarang. Gema masih bisa bermain cantik dan selalu berhasil membawa timnya meraih kemenangan, hanya saja performanya tak sebaik saat sebelum cedera. Itulah sebabnya Abizar selalu didera rasa cemas berlebih setiap kali putranya bermain bola.
"Kalau tidak ada perbaikan, sebaiknya Gema dibawa ke rumah sakit. Di sana kita bisa melakukan pemeriksaan lengkap."
Entah mengapa, kalimat-kalimat yang terlontar dari Dokter Bayu saat memeriksa Gema tadi terdengar mengerikan, seolah dokter itu memberitahu secara tidak langsung kemungkinan terburuknya.
"Dad."
Sedikit membungkuk, Abizar mengikis jarak antara ia dan putranya. Tangan kanannya bergerak menyapu jejak keringat di dahi anak semata wayangnya itu. "Kenapa, Ge? Ada yang sakit, hm?"
"Aku mimpi ketemu Mommy, Dad. Tapi, Mommy sama sekali enggak mau nengok pas aku panggil. Kenapa, ya?"
Abizar menelan salivanya kasar. "Itu hanya bunga tidur, Ge. Jangan terlalu dipikirkan. Mommy tahu kamu anak baik, jadi enggak mungkin dia bersikap seperti itu."
Gema mengerjap pelan dengan sorot kosong. Mulutnya terkatup, sesaat kemudian kembali terbuka. Seakan ada hal yang ingin dibicarakan, tetapi tertahan.
"Hei, mikirin apa sih? Kok malah melamun?" Abizar bersuara lagi.
"Mommy kayak benci sama aku, Dad."
"Daddy marah kalau kamu bicara seperti itu lagi. Udah sore, waktunya minum obat. Daddy siapkan dulu obatnya."
Yang sekarang bisa Abizar lakukan hanya menghindar. Kemarin tentang gurauan, hari ini mimpi, lantas apakah hari esoknya akan benar-benar menjadi sebuah ancaman? Semoga saja tidak.
Sementara Gema hanya memerhatikan dalam diam apa yang dilakukan sang ayah. Meskipun laki-laki, tapi ayahnya begitu cekatan melakukan apa yang lebih banyak dilakukan seorang perempuan, seperti memasak, dan sekarang menyiapkan obat. Tangannya seakan terlatih menuangkan puyer dari kertas pembungkusnya pada sendok, lalu melarutkannya dengan air. Biarpun katanya Gema ini atlet sepak bola, tetapi dia paling tidak bisa menelan obat dalam bentuk tablet atau sejenisnya. Ia lebih memilih tersiksa karena rasa pahit daripada harus menelan obat itu bulat-bulat dan akhirnya terbuang sia-sia.
"Buka mulutnya," titah lelaki itu kemudian.
Gema hanya mengangguk patuh. Ia membuka mulut tatkala sang ayah menyodorkan sendok berisi obat itu.
"Mau Daddy ambilkan permen atau buah biar mulutnya gak pahit?" tanya Abizar sembari menyerahkan segelas air.
Lagi, Gema diam. Namun beberapa saat kemudian barulah ia bersuara. "Daddy."
"Iya?"
"Aku sayang Daddy."
***
Galuh, Rossa dan Septian berkumpul di depan gerbang utama SMA Vegas. Ketiganya sepakat untuk menjenguk Gema. Bagaimanapun ketidakhadiran anak itu terlalu mendadak. Keterangan sakit yang tertera dalam daftar absensi membuat kecemasan Septian sejak semalam terjawab. Jika hanya batuk dan pilek atau sakit ringan lainnya, Gema pasti memaksakan sekolah. Sedangkan hari ini tidak. Berarti kondisinya memang tak cukup baik.
"Gue hari ini bawa motor. Gimana kalau kita pesan taksi online aja biar perginya bareng-bareng," usul Septian.
Tanpa komando Galuh dan Rossa mengangguk. Daripada pergi sendiri-sendiri, lebih baik bersama untuk menghindari kecanggungan ketika sampai di sana. Meskipun Septian dan Gema sudah berteman lama, tetapi melihat karakter ayah dan kakek Gema yang seperti itu, jelas merentangkan jarak di antara mereka.
"Lo udah kasih kabar sama Gema kalau kita mau ke sana?" tanya Rossa.
Septian mengangguk. "Bokapnya sih tadi yang balas. Katanya kita boleh ke sana."
"Lo kok khawatir banget sama Gema? Gue cemburu deh."
Pemuda itu memaksakan seulas senyum menanggapi celotehan sahabatnya. Apakah kecemasannya memang terlalu berlebihan sampai-sampai orang di sekitar turut menyadarinya?
"Lo ngertilah pasti alasannya kenapa."
Galuh sendiri diam saja. Tak mengerti dengan apa yang sedang dibicarakan kakak kelasnya itu. Ia malah tak sabar ingin segera sampai agar bisa mengomeli sahabatnya. Bagaimanapun Gema telah melarikan diri dari tugasnya hari ini.
***
"Ibu kangen sama cucu ibu, Bi."
Abizar tertegun. Suara lembut dan sedikit gemetar itu begitu dikenalnya. Perempuan yang memohon padanya beberapa tahun silam untuk menikahi putrinya. Setelah sekian lama, mengapa baru sekarang? Ia sudah telanjur menyusun skenario sendiri agar Gema tak mempertanyakan ibu berikut keluarga dari pihak sana lagi.
"Abi enggak bisa, Bu. Kami sudah bahagia. Tolong maafkan keegoisan Abi kali ini."
"Ibu memang bersalah, tapi Ibu harap kamu mengerti. Terlalu banyak kehilangan yang Gema hadirkan dalam hidup Ibu. Saat itu Ibu merasa marah."
"Marah dan menyalahkan bayi suci yang baru dilahirkan, tidak bisa dibenarkan, Bu. Apa Gema bisa memilih dengan cara apa dia hadir dan dari siapa dia dilahirkan? Enggak. Kalau memang Ibu ini neneknya, seharusnya Ibu ada di saat Gema membutuhkan sosok perempuan sewaktu kecil dulu."
"Tapi, Abi--"
"Abi tutup dulu teleponnya, Bu. Assalamu'alaikum."
Sambungan terputus. Biarlah kali ini Abizar sedikit egois, toh keegoisannya ini demi kebaikan Gema. Anak itu tak perlu tahu mengenai orang-orang yang tak pernah mengharapkan kehadirannya. Darah siapapun yang mengalir dalam tubuh Gema, baginya Gema Raihan Athaya tetap putranya.
"Serapat apa pun kamu menyimpan masa lalu Gema, suatu hari akan tetap ada yang membawa anak itu pada ibu kandungnya."
"Dan aku berharap itu bukan Papa. Karena kalau Papa terlibat dalam hal itu, aku dan Gema enggak akan pernah bisa Papa temui lagi," sahut Abizar sembari melenggang meninggalkan ayahnya.
Ia tak akan membiarkan siapapun menyentuh apalagi menyakiti putranya, termasuk sang ayah. Gema boleh saja pernah mengalami kehilangan beruntun di masa lalunya, tetapi tidak untuk hari ini dan seterusnya. Abizar bersedia melakukan segalanya demi Gema bahagia.
|Bersambung|
KAMU SEDANG MEMBACA
One Last Time
Novela JuvenilAku dibesarkan dalam kebingungan Dituntun berjalan menapaki lorong ketidakadilan Jika memang tak pernah diharapkan Mengapa hari itu aku tak lantas ditiadakan? Percuma dilahirkan hanya untuk bermukim dalam sepi Disudutkan ribuan tanya tanpa jawaban p...