Gema menghela napas, menahannya beberapa saat, mengembuskannya pelan. Begitu hingga berkali-kali. Ayahnya yang saat ini duduk terkantuk-kantuk dengan menjadikan tangan sebagai penopang kepalanya membuat Gema merasa bersalah.
Sang ayah pasti lelah harus bolak-balik kantor dan rumah sakit selama ia dirawat. Walaupun ada Septian yang terkadang menawarkan diri untuk menggantikan sejenak, tetapi Gema tahu ayahnya tak pernah benar-benar beristirahat.
Tubuhnya mungkin berbaring; matanya terpejam; mulutnya terkatup rapat, tetapi otaknya boleh jadi terus berpikir. Mencari titik terang, di mana ada kesembuhan untuk Gema.
Dan yang paling membuat Gema sedih, kakeknya tak sekali pun datang berkunjung semenjak dokter memutuskan bahwa ia harus rawat inap. Rindu? Tentu saja. Terlepas dari bagaimana laki-laki itu memperlakukan Gema, dia tetaplah kakeknya.
Hingga tiba-tiba pintu terbuka. Dokter Selly muncul di ambang pintu, lantas melemparkan senyum pada Gema.
Gema melambaikan tangan, berkata hallo tanpa suara pada dokter berjilbab itu sembari mengulum senyum. "Dokter, sini," kata Gema lagi hanya dengan gerakan bibir saja.
Dokter Selly melangkah perlahan agar tak menimbulkan kegaduhan, ia mendekati ranjang putra dari mantan kekasihnya dengan sangat berhati-hati. "Kenapa?" Lirih sekali ia bertanya.
"Jangan berisik, Daddy lagi tidur."
Perempuan itu mengusap puncak kepala pasiennya. "Dokter harus bicara sama Daddy kamu."
"Nanti aja, ya, Dok. Kasihan Daddy. Atau ... sama aku aja ngobrolnya, gimana?"
"Tidak bisa, Sayang. Ini urusan orang dewasa."
Gema melipat tangannya di dada, bibirnya mengerucut karena kesal. "Dokter Icell kok gitu? Main rahasia-rahasiaan. Aku gak mau temenan lagi," protesnya.
Dokter berparas cantik itu terkekeh geli melihat tingkah pasiennya. Tadi dia yang melarangnya gaduh, sekarang justru sikap manjanya sendiri sumber kegaduhan itu hingga Abizar yang semula terlelap mulai membuka kedua netranya.
"Sell, ada apa?"
"Yah, Daddy bangun. Aku berisik, ya?" tanya Gema kemudian. Sesaat setelahnya anak itu membekap mulutnya sendiri, menyesal karena bersuara terlalu keras.
"Ada yang harus kita bicarakan lagi. Bisa ikut ke ruanganku?"
Abizar langsung merasa segar sepenuhnya setelah melihat gurat keseriusan di wajah perempuan itu. Entahlah, dari gesturnya saja ia sudah bisa membaca kalau yang akan mereka bicarakan bukan hal baik. Lelaki itu melirik putranya yang tampak bingung, lalu berkata, "Daddy pergi ke ruangan Dokter Selly dulu, ya. Nanti kalau kamu butuh sesuatu langsung panggil suster. Oke?"
"Kenapa enggak di sini aja ngobrolnya? Daddy sama Dokter Icell mau apa?"
"Sebentar aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
One Last Time
Teen FictionAku dibesarkan dalam kebingungan Dituntun berjalan menapaki lorong ketidakadilan Jika memang tak pernah diharapkan Mengapa hari itu aku tak lantas ditiadakan? Percuma dilahirkan hanya untuk bermukim dalam sepi Disudutkan ribuan tanya tanpa jawaban p...