Bab 3

74.5K 3.6K 48
                                    

Aku, Citra dan para santri yang berprofesi sebagai tukang tidur Subuh dikumpulkan di lapangan setelah jam baca Al-Qur’an selesai, kurang lebih pukul enam pagi.

“Antunna¹ temui ketua bagian peribadahan di kantor organisasi, kecuali Ning Najma!” Aku yang awalnya menunduk sekarang menatap heran ke arah Ustadzah wakil Bagian peribadahan ini.

“Anti temui Ummi di ruang yayasan!”

“Lho kenapa ana saja, Ustadzah?”

“Karena hanya Anti yang diminta Ummi,” jawabnya melotot kepadaku.

Aku diam, tidak berani berkata lagi.
Ummi adalah panggilan para santri kepada istri kyai pendiri pondok pesantren ini, karena di sini, Bu Nyai-lah yang menggantikan posisi orangtua di rumah.

Citra menepuk pundakku yang masih terdiam tak berdaya.

“Bersabarlah, Nak, Allah punya jalan keluarnya,” bisik Citra sok bijak di telingaku.

Tidak! Jangan tinggalkan anakmu yang soleh ini, Ibu. Aku harus bagaimana?
Mengingat dua bulan lalu terakhir kali aku diintrogasi oleh Ummi, rasanya seperti menjadi kerupuk udang dalam toples sendirian—menyeramkan. Dan sekarang, baru minggu kedua aku di pesantren setelah libur panjang kenaikan kelas kemarin aku akan bertemu dengan Ummi lagi? Oh tidak! Aku belum siap dinikahkan.
Ha … ha!

Memangnya siapa yang mau menikahkanku? Mana mau Ummi memiliki menantu penjaga kasur sepertiku.

Ruang yayasan terlihat angker seperti biasa. Lebih angker dari istana hantu dan rumah kosong di film horor. Aku merasa menjadi SpongeBop SquarePants yang ditinggal sendiri saat Hari Tanpa SpongeBop yang ada di Bikini bottom. Menyedihkan sekali.

“Assalamu’alaikum,” ucapku sambil mengetuk pintu perlahan.

“Wa’alaikumussalam, udhuli!”² perintah Ummi padaku.

Aku sudah hafal betul apa yang akan dikatakan Ummi setelah ini, karena ruang yayasan ini walaupun seram sudah seperti menjadi kamar keduaku. Kamar tempatku dimarahi dan diberikan hukuman.

Aku tidak seperti santri lain. Jika aku melakukan kesalahan maka aku akan langsung dibawa menuju ruang yayasan, walau kesalahan sekecil apa pun. Katanya ustadzah sudah kehabisan kata-kata mengintrogasiku, katanya aku banyak ngeles, banyak alasan. Orang yang disidang yayasan itu hanya untuk pelanggaran berat saja, maka dari itu terkadang aku merasa kesal. Tapi setiap kutanya kepada Bu Nyai atau Kyai, pasti katanya abi-ku yang meminta. Semakin kesallah aku.

“Tidur lagi, Nak?” tanya Ummi lembut seperti biasa, tapi di telingaku sudah seperti harimau buas mengamuk. Aku diam dan menunduk.

“Ada piket jaga malam untuk santri?” Aku diam lagi dan semakin menunduk.

“Kenapa masih suka bolos Tahajjud?” Aku tetap diam.

“Ning, tahulah abi-mu ingin kamu seperti apa?” Tuh ‘kan benar kataku, pasti ujung-ujungnya ke Abi, dengan susunan kata yang sama seperti kemarin, kemarinnya lagi, kemarinnya lagi, kemarinnya lagi, dan kemarin-kemarinnya lagi.

“Jadi perempuan sholihah, Nak, itu mau abi-mu. Shalat Tahajjud itu jarang ada yang bisa mengerjakan, masih untung di sini ada yang membantumu ibadah saat semua orang sedang lelap dalam tidurnya. Jangan sia-siakan, Nak. Shalat Tahajjud dapat mempermudah segala urusan. Percaya pada Ummi, insyaAllah. Dan ingat! Kamu akan menjadi penerus abi-mu, menjadi nyai seperti Ummi,” ucapnya tetap lembut.

“Na'am, Ummi,” jawabku sesopan mungkin.

Nasihat-nasihat itu bukan masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri, aku ingin sekali menjadi baik seperti santri lain. Tapi kesempatan untuk berbuat nakal itulah yang banyak terlihat. Pernah mendengar kata ini, “Tidak ada orang yang jahat kecuali orang itu diberi kesempatan untuk berbuat jahat?"

“Ya sudah, kamu boleh pergi,” perintahnya tetap lembut.

Aku bangun dari duduk, mengucap salam dan keluar dengan cepat. Baru minggu kedua sudah kena sidang lagi. Duh, Najma … dodoh sekali! Pasti dimarah Abi lagi.

Akad Rahasia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang