Bab 7

63K 3.1K 42
                                    

Masuk rumah sendiri sudah seperti masuk kandang wartawan saja. Semua santri bertanya padaku dengan pertanyaan yang sama.

“Lho, Ning, kenapa pulang?”

“Kok bisa pulang, Ning?”

“Datang sama siapa, Ning?”
Pusing aku dibuatnya.

Ada juga yang asal menebak. “Ning kabur lagi, ya?” katanya. Memang benar aku kabur. Tapi entah kenapa kata “kabur” itu terdengar jelek di telingaku. Jadi, kuanggap angin lalu saja semua pertanyaan itu.

Dari gerbang, gedung-gedung kamar santri, pohon-pohon, trotoar, lapangan, semua dihias dan dipasangkan terop. Terlihat megah sekali hingga aku mengira diriku salah masuk pesantren, dengan keadaan yang seperti ini lebih mirip tempat hiburan dibandingkan pesantren.

Belum lagi tamu yang datang sudah ribuan, karena orangtua para santri katanya diundang semua, padahal akadnya akan dimulai nanti sore, tapi lapangan sudah penuh saja dengan berbagai macam kendaraan.

“Mbak Zahra!” Mbak Zahra yang sedang di-make up menoleh sekaligus terkejut melihatku yang tiba-tiba datang.

“Bagaimana bisa datang ke sini, Dek?” Pertanyaan mematikan yang kalau kujawab akan mendapat kultum gratis dari Mbak Zahra langsung.

“Pokoknya ceritanya panjang, sekarang Najma tanya, kenapa Mbak Zahra menikah?” Bukannya menjawab pertanyaanku, Mbak Zahra malah tertawa dan membuatku bingung.

“Kenapa? Mbak ‘kan sudah besar, beda halnya kalau Dek Najma yang menikah.”

“Bukan begitu maksud Najma, Mbak. Hanya saja Najma belum mau punya kakak ipar, nanti Mbak Zahra ndak sayang Najma lagi,” kataku padanya dengan raut pura-pura sedih.

Padahal aku bahagia, kalau Mbak Zahra menikah, berarti sekarang aku saja yang menjadi anaknya Abi dan Ummi karena Mbak Zahra sudah pasti tinggal di rumah suaminya dan pasti dimanjakanlah aku oleh Abi dan Ummi.

“Kalau Mbak sih pengennya punya adik ipar,” goda Mbak Zahra padaku. Mataku melotot. Bukannya bersyukur, aku rela kabur demi menyaksikan akadnya malah diledek terus. Lagi pula aku bingung dengan kata-kata Mbak Zahra, selalu saja menyinggungku seperti aku mau menikah saja, padahal umurku baru tujuh belas tahun.

Mbak Zahra menikah dengan Gus Malik, anak kyai juga, tapi bukan pemilik pesantren, melainkan pemilik sebuah SMA Islam favorit tempatku ingin bersekolah dulu.

“Abi sudah tahu kalau Dek Najma datang ke sini?” tanyanya padaku.

“Sudah, Mbak.”

“Abi bilang apa?” tanyanya lagi.

“Abi marah, sedikit. Tapi ya sudahlah, tak apa, yang penting Najma ketemu Mbak Zahra saja,” jawabku.

Mbak Zahra menyuruhku mengganti baju karena aku yang akan mendampinginya saat acara nanti.
Senangnya Mbak Zahra akhirnya menikah dan setelah itu aku menyusul—pikiran setan mulai masuk.

Akad Rahasia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang