Bab 4

67.4K 3.4K 45
                                    

“Makanya, kalo aku kasih tahu itu didenger,” omel Lasmini sepanjang koridor kamar padaku.

Sekarang adalah jam kerja santri, selesai membaca Al-Qur’an di masjid, para santri dijadwalkan untuk bersih-bersih sebelum mandi, sarapan, dan sekolah di tempat masing-masing.

Aku dan Lasmini sedang berjalan menuju gudang sapu. Kalau Citra, dia ketua kelas, jadikerjanya membersihkan kelas.

“Eh … katanya, Gus Nabhan akan pulang dari Mesir lho hari ini!” Mungkin ini sudah kesepuluh kalinya aku mendengar kalimat itu keluar dari mulut gosip para santri dan itu kebanyakan dari adik kelas.

Memangnya mereka tahu siapa Gus Nabhan? Aku saja yang lebih lama di sini tidak tahu.

“Wah, pasti guaanteeng tenan, yo? Lulusan Mesir pula!” celoteh Intan dengan logat bahasanya yang terus melekat meski menggunakan bahasa Arab.

“Bagaimana sih rupa Gus Nabhan itu? Jadi penasaran aku, sepanjang koridor namanya saja yang kudengar,” kataku sewot pada Lasmini.

“Ya mana aku tahu, Ning, ‘kan kita masuknya samaan,” jawab Lasmini yang memberikan sapu padaku.

“Ning Najma!” Aku menoleh.

“Abinya nelepon”
Tumben Abi meneleponku, biasanya aku saja yang menelepon, itu pun pasti dimarahi, karena kalau sudah santri tiba-tiba menelepon ke rumah, sudah pasti ada maunya.

“Di mana?” tanyaku.

Sebenarnya tak perlu bertanya, karena sudah jelas Abi menelepon di wartel, tapi untuk basa basi agar terlihat ramah saja.
“Di wartel, Ning.” Tuh ‘kan, benar kubilang .

“Ya sudah, makasih, ya!” kataku pada Nadia.

“Ini, titip tolong sapukan tempatku, ya! Syukron¹!” kataku sambil berlari meninggalkan Lasmini, soalnya kalau aku bilang sambil diam di tempat, pasti Lasmini menolak.

“Assalamu’alaikum, Abi?” ucapku setelah telepon terangkat. Sekarang aku yang menelepon Abi lebih dulu.

“Wa’alaikumussalam, Najma. Ada kegiatan sekarang?”

Tentu saja aku bingung, Abi bertanya seperti itu untuk apa? Mulailah aku husnudzon, jangan-jangan Abi ingin mengajakku pulang. Senangnya!

“Ndak ada, Abi, hanya piket dapur saja. Tapi bisa diganti kok!” jawabku buru-buru pada Abi agar tahu maksudku.

“Ya sudah, Abi hanya mau bilang kalau mbakmu menikah hari ini.”

What!? Mbak Zahra menikah dan Abi bilang “hanya” padaku?

“Kenapa Abi ndak menjemput Najma? Najma juga mau lihat akadnya Mbak Zahra, Abi!” Aku merengek mengeluarkan jurus andalanku.

“Najma belajar saja, jadi santri yang taat, kalo lihat orang akad nanti Najma minta ikutan lagi.” Bukannya mengajakku, Abi malah mengejekku—menyebalkan.

“Ya sudah, Assalamu'alaikum.” Kututup teleponnya sebelum Abi menjawab salamku. Ceritanya aku kesal pada Abi, karena aku yakin Abi akan meneleponku lagi.

Dua menit, lima menit, enam menit, tidak ada telepon dari Abi. Aku mendengus kesal tidak sabaran.
“Halo! Assalamu’alaikum, Abi! Kenapa ndak nelepon balik? ‘Kan Najma lagi ngambek!” Kubilang  pada Abi dengan nada sangat kesal. Di ujung sana Abi tertawa yang membuatku semakin jengkel.

“Najma ini ada-ada saja. Abi sibuk mengurus pernikahan mbakmu, kamu malah ngambek. Sudah, sudah, ngambeknya di-stop dulu, nanti saja kalau akad mbakmu sudah selesai. Assalamu’alaikum!” Telepon ditutup.

Seketika di otakku seperti ada pedagang kaki lima yang berteriak, “Kacang! Kacang! Kacang!” Telingaku mengembuskan asap membara—kesal sekali.

Pertama, baru minggu kedua di sini sudah disidang Ummi. Kedua, Mbak Zahra menikah tidak mengajakku! Ketiga, Abi ngacangin aku. Duniaa oohh duniaa!!!






Note:
¹Terima kasih

Akad Rahasia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang