Bicara tentang pasar, sudah jelas kalau isinya beragam, mulai dari ayam muda, janda, hingga tua pun ada di pasar. Tidak heran kalau sekarang aku dan Bik Amin berdesakkan di tengah-tengah penghuni pasar, dan sekarang di pikiranku adalah bagaimana cara pulang kalau Bik Amin saja tidak pernah melepas tanganku meskipun sedetik. Jadi seperti film-film Indonesia yang takut kehilangan kekasihnya.
Sepanjang jalan, aku memikirkan sesuatu yang harus kulakukan untuk mengelabui Bik Amin, dan tiba-tiba bohlam lampu menyala dengan terang keluar dari otakku, pertanda bahwa aku memiliki ide yang bagus.
Triingg!!
“Bik, di sana ada buah mengkudu yang Bibik mau itu!” ucapku antusias pada Bik Amin setelah mengingat pembicaraan di dapur tadi kalau Bik Amin ingin buah mengkudu sebagai obat.
“Di mana, Ning?” tanyanya serius.
“Di warung pojok sana, Bik” jawabku sambil menunjuk warung yang lumayan ramai di pojok timur tidak jauh dari tempatku dan Bik Amin sekarang.
“Tunggu di sini, jangan ke mana-mana, Bibik ke sana dulu,” katanya dan pergi meninggalkanku begitu saja.
Kupu-kupu kok dilepas!“Bik, ini barangnya. Najma pergi dulu, ya!” teriakku pada Bik Amin setelah Bik Amin ada di depan warung yang kutunjukkan dan mencoba masuk ke kerumunan orang-orang yang berbelanja.
“Eh, Ning, mau ke mana? Mana mengkudunya?!” teriak Bik Amin padaku.
“Itu, Bik, di sana! Liat saja Mengkududa ganteng. Dadah!” kataku sambil berlari meninggalkan Bik Amin yang sekarang ada di warung rombengan Mas Duda muda tempatku biasa mampir memilih baju dengan Citra kalau bolos dari pesantren. Misi berhasil, horee!!
Sudah sepuluh menit aku berlari menuju halte terdekat untuk mencari Tayo si Bus kecil ramah, siapa tahu dapat tumpangan gratis. Tapi bukannya bertemu Tayo, aku malah kena sial. Sekarang, nametag-ku hilang, tidak tahu jatuh di mana. Tanpa nametag itu, bisa mati aku di pesantren menjadi santapan sedap para bagian keamanan. Tapi ke mana aku harus cari?
Ke mana, ke mana … ke mana? Kuharus mencari ke mana? Nametag tercinta, tak tahu di mana. Bagaimana kubalik ke pesantren? Duh … Najma bodoh! Bukan mencari, malah nyanyi. Mau jadi Najma Tingting?“Kamu cari ini?” Aku tersentak, cukup terkejut, bukan karena nametag-ku di tangannya yang tersodor untukku. Tapi karena warna kulit tangannya cerah bersinar seputih kulit Jepang di iklan Sinzui. Belum berani aku menatap si pemilik tangan, takut akan silau, dan aku lupa bawa kaca mata hitam.
“Iya, terima kasih,” ucapku padanya sesopan mungkin dengan terus tawadduk menunduk.
“Sama-sama,” katanya dengan senyum padaku dan berlalu menaiki taksi.
Aku hampir saja meleleh dan mimisan dibuatnya, ternyata dia lebih ganteng dari Okis di Webtoon “Terlalu Tampan”. Untungnya aku melihatnya hanya sekilas jadi tidak terlau baper, insyaAllah.“Ning, hati-hati setelah kembali ke pesantren nanti,” katanya padaku.
Mulutku sukses membentuk huruf O besar. Selain tampan, dia juga peramal ya Allah. Subhanallah—Logika setan.
Siapa dia? Dari mana tahu panggilanku? Kalau tahu aku santri wajar saja karena pakaianku dan nametag-ku. Tidak mungkin ada peramal bersorban setampan itu. Tapi yang jelas kalau dia peramal, dia adalah peramal bersorban paling menyebalkan di seluruh dunia dan aku kesal untuk kesekian kalinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Akad Rahasia
Teen FictionIni bukan cerita dewasa, tapi ini ceritaku saat menjadi santri. Cerita saat aku di nikahkan diam-diam oleh Abi.Ya, Akadku di rahasiakan. Happy reading💜 {17/08/18-11/06/19}