LUGAS
Udara panas Surabaya malam ini seperti menguap, mengantarkan kepenatan bagi manusia-manusia di kota tersebut. Bangunan-bangunan rumah dengan kerlip lampu menyemarakkan suasana, sepetak jendela terbuka di bangunan tertinggi sebuah deretan indekos, menampilkan dua sosok pria yang sedang bergumul bersimbah peluh, angin panas dari luar makin membuat keringat mereka bercampur membanjir di Kasur lantai. Satu hentakan yang dilakukan Lugas membuat pasangannya meronta dan memeluk kepalanya, namun bahkan ketika semua belum tuntas, Lugas segera mencabut penisnya dan melepas kondom yang telah lembap, mengambil tissue dan membersihkan kemaluannya. Menyambar pakaiannya dan segera mengenakannya.
"Mau ke mana?"
"Balik" Jawab Lugas datar, tanpa perasaan. Andra, lelaki yang kini pelan-pelan mengenakan celana memandangi Lugas dengan pandangan pasrah. "Aku pikir kamu bakal menginap."
"Besok masuk kerja bro, sori ya. Kapan-kapan deh." Lugas fokus mengikat tali sepatunya, lalu beranjak menyambar tasnya, sedangkan Andra tahu, bahwa menghiraukan kata-kata 'kapan-kapan deh' dari Lugas itu sama saja mengharapkan membangun candi dalam satu malam, sia-sia.
Tanpa menoleh kepada Andra, Lugas segera pergi dari kamar yang pengap oleh udara dari malam ini, oleh sesak dalam otaknya yang menuntut asupan udara segar.
Namun ketika masuk ke dalam mobilnya, yang memisahkannya dari hiruk-pikuk gang sempit di Jalanan Surabaya itu, Lugas terdiam lama di belakang kemudinya. Menekuri apa yang ada di kepalanya, memilah satu persatu pertanyaan-pertanyaan yang begitu sesak di dada. Walaupun seharusnya ia tahu bahwa kepenatan ini bersumber pada satu hal saja. Setelah menghela napas, ia segera menyalakan mobilnya dan sedan hitam itu perlahan meluncur meninggalkan gang sempit tersebut.
Perjalanan menuju ke rumahnya hanya ditempuh dalam watu setengah jam, dan dalam waktu setengah jam inilah, otaknya sudah otoatis berkontemplasi dengan keadaan, dengan kenyataan. Tidak ada hal lain yang ingin dilakukan selain mengutuk dirinya sendiri. Ketika Jalanan memadat oleh tempo lampu lalu lintas yang mengedip lambat, Lugas menyambar smartphone-nya dan membuka laman twitter. Suaka virtual tempatnya merasa menjadi diri sendiri, menemukan teman-teman sehati, manusia-manusia yang sejenis dengannya. Laman itu membuka dan menampilkan cuitan berbagai macam manusia pecinta sesama jenis dari yang masih berseragam sekolah hingga yang berusia senja, cuitan mereka pun beragam, mulai dari curhat pribadi, puisi-puisi, flirting-flirting sesama pengguna twitter yang terlalu drama sehingga terkesan memuakkan, sindir-menyindir dari akun satu ke akun lainnya tanpa ada mention, hingga tebaran video porno Gay yang berdurasi dua menitan mulai dari video amatiran lokal hingga corporate gay porn kelas internasional yang digunakan penggunanya untuk pelampiasan visual dari hasrat terpendam yang mereka simpan diam-diam.
Menjadi seorang Gay membuat Lugas merasa dirinya seperti makhluk asing, bukan manusia pada umumnya. Hidup di dunia ini, di masyarakat Indonesia entah di lapis terdekatnya yaitu keluarga, sampai lingkungan pekerjaannya, membuat Lugas harus beradaptasi. Sebagai makhluk asing, ia harus tahu diri untuk mampu meleburkan diri dalam norma sosial dan tatanan pergaulan yang wajar. Laki-laki sudah sewajarnya menyukai perempuan, bukan yang lain.
Doktrin untuk mampu beradaptasi yang telah ia jalani dan biasakan sejak kecil inilah yang membuatnya menyaru dengan keadaan, membuatnya sering bingung kepada diri sendiri. Di dalam dirinya, akhirnya tumbuh entitas baru yang berasal dari kehidupan normal, entitas itu berupa hasratnya yang ternyata juga bisa menggebu terhadap wanita, keinginannya untuk punya keluarga sendiri, serta cita-citanya untuk memiliki kehidupan normal sebagaimana tatanan masyarakat pada umumnya. Namun entitas awalnya, seberapapun ia berusaha untuk berpaling, tetap berdiri di sana, mengawasinya diam-diam, yang ketika lengah sedikit, dia akan aktif mengekspansi dari dalam. Lugas jadi merasa sebagai makhluk campuran, setengah dewa, semacam Hercules.
YOU ARE READING
Nudimasocist
RomanceDamar, seorang arsitektur lepas yang menyukai kebebasan, jauh di dalam lubuk hatinya, menyimpan hasrat untuk merefleksikan makna kebebasan tersebut dengan menunjukkan kesejatian dirinya tanpa perlu batasan busana. foto-fotonya ia unggah di media twi...