Epilog

406 23 7
                                    

Liburan selama dua minggu ketika cuti, dihabiskan Lugas untuk istri dan kedua jagoan kecilnya. Bersama mereka, Lugas merasa sangat terkendali. Setelah mendengarkan pengakuan Aji di bantaran Suramadu beberapa malam lalu, ada kelegaan yang ia tenggak seperti sebuah tanya yang akhirnya menemui jawabnya. kini, penasaran itu sudah tidak lagi ada.

Meskipun senja itu, sesaat ketika Aji menjemputnya di terminal kedatangan dan mendapati wajahnya yang tak bisa ditebak, sekeras itu Lugas menahan gelegak amarah dan sejuta rasa lagi yang tak sanggup ia pilah. Namun seusainya makan malam bisu yang mereka lakukan di McD daerah Juanda-Sidoarjo itu, akhirnya Aji tidak sanggup untuk menahan:

"Lo kenapa sih bro kok diam aja dari tadi? Ada masalah?"

Lugas hanya menggeleng dan menghirup sprite nya, berusaha menyegarkan otaknya yang dipenuhi gelombang panas.

"Ah lo mah gitu, masak dua bulan nggak ketemu gue nggak kangen lo?" celetuk Aji.

"Kita ngobrol di luar aja mau?"

Berkendara dari ujung selatan Surabaya menuju ujung utara Surabaya, Akhirnya bantaran Suramadu itulah yang menjadi pilihannya dan menjadi saksi pengakuan kedua belah pihak, dua orang yang seumur hidupnya pernah jatuh cinta mati-matian dengan orang yang sama. Orang yang Aji pun menolak memberitahu Lugas siapa nama aslinya karena katanya itu adalah bagian dari privasi yang harus dijaganya. Orang yang menyebut dirinya di linimasa sebagai @alamraya.

Ketibaannya di Balikpapan lagi, menjadi ketibaan yang dinanti-nantinya karena berbeda dengan kedatangannya dulu di Balikpapan yang dipenuhi tanya dan dibukanya lembar demi lembar ceritanya bersama orang yang dikaguminya itu, kedatangannya kali ini, ia resmi menutup lembaran kisahnya Bersama seorang @alamraya.

Dan di suatu Jumat pagi di hari yang mendung, Lugas absen dari pekerjaannya demi hari spesial ini. Se-spesial ketika ia berada di ambang pintu kedatangan Bandar Udara Sultan Aji Muhammad Sulaiman di Sepinggan Balikpapan, dan menyambut ketibaan senyuman menentramkan yang datang dari laki-laki bertubuh tegap yang pagi itu memakai setelan kaos lengan panjang dan celana khaki, dengan topi yang diputar ke belakang dan kacamata hitam bertengger di hidup panjangnya. Laki-laki yang sudah dinanti-nantinya selama ini, yang datangnya merupakan obat dari luka-luka yang ia torehkan ke dirinya sendiri.

Setibanya mereka di tempat tinggal Lugas yang berada di Gang Swadaya itu, keduanya sudah tidak bisa lagi membendungnya. Sejak pintu kamar tertutup dan terkunci, Lugas sudah terlebih dulu menarik 'tamu jauh' nya itu sehingga Damar hanya bisa pasrah dengan membiarkan ranselnya terlempar di lantai. Ciuman mendarat di kedua bibir seperti magnet yang berbeda kutub, saling menempel tanpa pernah bisa diprediksi kapan bisa merenggangnya. Pagutan demi pagutan saling tumpang tindih seperti seorang panglima perang yang melancarkan serangannya bertubi-tubi. Damar membuka kemeja flannel yang dikenakan oleh Lugas, ketika jemarinya mampu merengkuh dada bidang itu, makin menjadilah pergumulan tersebut tanpa kenal Lelah seolah tidak akan ada hentinya sebelum salah satu dari keduanya menyerah. Dan sepertinya merekapun juga tidak akan pernah mengaku kalah. Damar, yang sudah terlepas dari kaos lengan panjangnya namun dengan topi yang masih bertengger di kepalanya, mulai menggerayangi tubuh Lugas dengan lidahnya. Rasa basah di tubuhnya, membuat Lugas menggelinjang seperti orang keracunan dan yang diinginkannya hanyalah mendapatkan ciuman lagi dari bibir Damar, karena bibir itu hanyalah satu-satunya penawar yang mampu meredakannya.

Sprei di atas Kasur itu sudah berantakan, karetnya sudah terlepas dari sudut-sudut dipan. Bantal-bantalpun tak ayalnya sebagai pengganggu dari pergumulan manusia di atasnya sehingga mereka mengalah dan berjatuhan di lantai. Sembari Damar masih 'sibuk' dengan pekerjaannya di bawah sana, Lugas memejamkan mata dan jemarinya kini hanya bisa mengelus rambut ikal itu. Geletikan Jambang dan kumis Damar mampu membuat Lugas mengejang sekali dua kali dan melenguhkan suaranya, kenikmatan yang ditunggu-tunggunya, menggelegak seperti aliran sungai yang tak berkesudahan. Ketika Damar sudah sampai di atas lagi dan mendapatkan bibir Lugas sebagai representasi kepulangan seorang ksatria ke rumahnya, Lugas mulai meraba ujung celana Damar dan membuka kancing serta resletingnya. Debar di dadanya yang bertalu-talu membuat gerakannya tidak sesantai Damar, sebaliknya, menimbulkan kesan kesusu dan menggebu. Bersamaan dengan lepasnya celana khaki dari kedua kaki Damar, maka saat itu pula tangan Lugas menggapai-gapai hingga sanggup menggenggam satu pusat kendali tubuh seorang Damar Kencana. Lugas merenggangkan jemarinya demi memperkukuh cengekeraman berikutnya, seperti pemabuk yang mencari-cari tonggak untuk menyeimbangkan tubuhnya.

Erangan lirih dari Damar di telinga Lugas mampu membangkitkan gairah yang menyeruak di permukaan kulit keduanya sehingga permainan mereka makin menjadi. Dalam ketelanjangan, keduanya saling memegang kendali tanpa ada yang mau mengalah siapa kapten dan siapa wakilnya. Permainan dominan biasanya tidak akan pernah berhasil karena satu pesawat dengan dua pilot pasti akan terombang-ambing. Namun tidak dengan mereka, dominasi itu, bergerak selaras, sejalan dan setujuan. Tanpa ada kata-kata, mereka sudah saling tahu melalui indera-indera yang saling mencecapi satu sama lain.

Feromon, aroma yang kini memikat satu sama lain saling bersahutan seperti dua manusia yang terpisah jarak sebegitu jauhnya dan dipisahkan oleh kabut tebal. Sebagaimana kemampuan inderawi paling primitif itu bekerja, komunikasi feromon adalah pusat komando yang menunggu aba-aba. Ketika hormon itu sudah menemukan kata sepakat dan persetujuan, maka tidak dibutuhkan lagi akal maupun pikiran untuk memberserahi kejadian berikutnya. Bagaikan rantai hierarki, tangan Lugas segera menopang tubuh Damar di bawahnya, dan desahan napas itu saling menggapai menuntut dosisnya. Ketika bibir mereka berpagut lagi, bersamaan dengan itu, dengan sangat pelan dan hati-hati, Lugas memasuki tubuh Damar yang ditandai dengan cakaran di punggungnya. Damar menahan napas dengan lenguhan tertahan, namun Lugas tahu bahwa yang perlu dia lakukan justru menambah lagi dosis ciuman itu untuk membius rasa perih dari pihak Damar. Ketika cengkeraman Damar sudah mulai merenggang, dan lidahnya sudah menggapai untuk menyambut lidah Lugas, maka Lugas paham, bahwa mereka telah melewati masa kritis. Di antara panas dan lengketnya peluh yang mengguyur tubuh kedua pria itu, aura panas mulai membubung menghangatkan situasi. Lugas, yang merasa sudah berada di titik aman, mulai meluncurkan aksinya dengan menggerakkan tubuhnya pelan-pelan. Pusat kendali tubuh dan emosinya yang ada di bawah sana, dan sudah menembus pertahanan tubuh Damar, kini makin mengeras bagai mercusuar yang kokoh dari terpaan badai dan sambaran petir.

Permainan yang berlangsung panas itu mulai mengalun menciptakan melodi. Satu, dua, tiga, empat hingga hitungan yang tak terhingga seiring gerakan Lugas yang makin cepat. Keduanya menggerung, melenguh dan mendesah seperti sorai penyemangat tim pemandu sorak yang menyemarakkan gelanggang pertandingan. Suara-suara yang dibutuhkan untuk memompa adrenalin para pemainnya untuk keluar sebagai pemenang. Karena demikianlah bagi Lugas dan Damar, ketika erangan mereka makin menjadi-jadi, kedua tangan itu mulai mencengekeram satu sama lain untuk menguatkan. Dan dalam balutan peluh yang makin membanjir, sekali hunjaman dari pihak Lugas yang serta merta dibarengi oleh erangan paling keras dari keseluruhan permainan itu saat Lugas segera mencabut penisnya dan Bersama Damar, dari keduanya menyembur cairan lahar putih hangat yang menghambur dengan ritme satu, dua, tiga beserta gelenyar kenikmatan yang menggetarkan tubuh mereka.

Tanpa mau bergerak kemana-mana, Lugas menghempaskan tubuhnya di atas tubuh Damar dan dilepasnya letih di sana. Damar mengecup kening Lugas dan jemarinya mempermainkan rambut halus di tengkuknya. Napas keduanya masih berpacu melepaskan Lelah, namun kebahagiaan itu sejenak cukup menjadi obat rindu yang selama ini keduanya cari-cari.

Dan siang ini, dalam basuhan hujan kota Balikpapan yang sepi, Lugas merasakan kehangatan dari dalam dadanya. Ia tahu lukanya mungkin belum sembuh, ia juga tidak bisa menjamin untuk secepatnya luruh, namun saat ini, di dalam pelukan Damar Kencana, seseorang yang mengizinkannya untuk merasa sungguh memiliki segalanya, ia merasa bahwa semua ini cukup, sungguh lebih dari cukup.

NudimasocistWhere stories live. Discover now