Kisah masa lalu

458 22 0
                                        



                                                  DAMAR

Di tengah bebunyian serangga malam yang syahdu, mengalirlah sejarah percintaan Damar Kencana dengan orang-orang yang dicintainya habis-habisan di masa lalu. Orang-orang awal, begitu dia menyebutnya, yang mengantarkan Damar melangkah sejauh ini di dunia orang-orang yang menyukai sejenisnya.

Damar kecil adalah anak desa yang menghabiskan waktunya hanya untuk sekolah dan bermain Bersama kawan sebaya. Di sela-sela waktu itu, dia digembleng oleh ayahnya untuk membantu kedua orang tuanya dalam pekerjaan sehari-hari, mulai dari menimba air dari sumur melalui katrol tradisional setiap pagi dan sore hari, mendorong gerobak ke pasar tempat ibunya berjualan seberangkat dan sepulangnya ia dari sekolah, hingga membantu Ayahnya, yang seorang buruh bangunan, mengaduk adonan semen dan mengangkat batu bata untuk membangun rumah-rumah. Kegiatan fisik sedari kecil inilah yang turut memberikan sumbangsih terbesar bagi terbentuknya pahatan-pahatan alami di badannya yang menjadi idaman banyak orang.

Lulus SMA, Damar dilepas ke kota Jogja oleh orang tuanya untuk menggeluti ilmu arsitektur yang ia cita-citakan semenjak usia dini, buah kebiasaan dari menolong Ayah membangun rumah, membuatnya jatuh cinta pada bangunan dan model bentuknya.

Di bangku kuliahlah Damar bertemu dengan Handana, anak Semarang dari Jurusan Hukum yang kala itu bekerja paruh waktu di warung fotokopi langganannya.

"Cinta yang bersemi di warung Fotokopi." Begitu Damar menandaskan sambil pandangannya menerawang, menyiapkan hati harus mengenang luka yang baginya tidak akan pernah padam itu.

Keduanya dekat karena kebiasaan, sambil menunggu pesanan fotokopinya yang beratus lembar, biasanya Damar membawakan makanan untuk Handana karena ia tahu teman barunya itu belum makan sedari pulang kuliah. Awalnya murni ketulusan Damar ingin menolong dengan suka hati, namun lama kelamaan, Handana merasa bahwa perhatian Damar kepadanya tidaklah sewajarnya. Keduanya tidak pernah membahas hal tersebut hingga suatu malam ketika Handana, yang ingin membalas kebaikan Damar selama ini, berkunjunglah ia sambil membawa sekotak martabak dan didapatinya Damar yang sedang sibuk dengan proyek desainnya.

"Eh, kok tumben ke sini?" Damar terkejut saat Handana tiba-tiba duduk di seberang mejanya.

"Iya, kerjaan kelar, warung tutup. Nih tak bawain martabak kesukaanmu."

Akhirnya mereka sepakat nonton filem Bersama di laptop Damar sambil menikmati martabak, entah awalnya ide siapa mereka dengan sengaja memutar filem yang unsur ceritanya lumayan panas dan sangat menyulut gejolak masa muda usia-usia mereka. Suasana yang sangat mendukung apalagi setelah keduanya mulai merasakan aliran darah mengucur ke bawah perut sehingga pusat kendali tubuh mereka bermuara ke sana, ketika tangan salah satu sudah mulai meraih pusat kendali gairah yang lain, lecutan itu terjadi begitu saja, tanpa diminta. Keduanya saling pagut tanpa berpikir, karena akal sehat sepertinya sudah jauh di tinggalkan di alam lain, untuk usia akhir belasan tahun, hasrat itu menggebu, menuntut untuk dituntaskan.

Sebagai dua orang yang masih awam masalah pelampiasan seksual, momen ini menjadikan mereka titik awal pengalaman mencecap kenikmatan feromon. Tentang bagaimana rasa nikmatnya kulit bersentuhan ketika hormon testosterone sedang bekerja di permukaan, bagaimana menggetarkannya bibir yang saling melumat ketika itu satu-satunya hal yang secara instingtif minta dipenuhi. Dan setelah keduanya menumpahkan saripati di tubuh yang menempel sampai tidak diketahui cairana milik siapa yang mana, kerikuhan baru menguasai, akal sehat baru mendatangi seperti guru BP yang memergoki siswa merokok di belakang kantin sekolah. Untuk kecanggungan di antara keduanya mencair, Handana berceletuk. "Lega ya." Dan keduanya justru ketawa.

NudimasocistWhere stories live. Discover now