DAMAR
"Sudah siap belum?"
"Siap mas."
Damar menekan tombol di layar gawainya untuk mengomandokan kameranya dalam mengambil gambar mereka berdua, terdengar bunyi blitz beberapa kali.
Damar dan Bagas sudah ada di ponggok kamuntung, singgasana yang selama ini ditempati Damar untuk mencicipi kebebasan. Ponggok Kamuntung berupa tebing yang berada di area pantai Wohkudu, menawarkan pemandangan menakjubkan yang berhadapan langsung dengan samudera hindia di pesisir selatan pulau jawa, adalah titik yang membuat Rangga takjub, sebagai orang Jakarta yang rawan kesibukan dan langka berwisata alam, dia bersyukur bisa merasakan apa yang dibutuhkan oleh otaknya selama ini.
"Melihat foto-foto mas Damar saja saya sudah kepingin banget ke sini, sekarang, betulan ada di sini, pemandangan ini jauh lebih memukau dari yang saya bayangkan." Kata Rangga, memunguti pakaiannya dan mulai mengenakannya.
"Iya mas, garis pantai di gunung kidul sini memang terkenal bagus-bagus, tapi kalau untuk naturist seperti saya, ya harus berani mencari tempat yang lebih pribadi lagi biar tidak ketahuan orang. Untuk menemukan Ponggok Kamuntung ini saja, saya perlu survei hampir sebulan, memilah-milah dari beberapa pantai di pesisir selatan ini."
"Wah, jangan-jangan adalah satu-satunya orang yang ke Ponggok Kamuntung ini?"
Damar tertawa. "Mungkin mas, di bawah sana ada pantai Wohkudu, bagus juga, lumayan private, tapi sudah mulai dikenal orang, jadi agak megkhawatirkan kalau nekad nudist di situ." Kata Damar menarik resleting celananya.
Rangga berteduh di bawah pohon karena matahari pagi itu mulai naik, di sana, ia sudah menggelar kain sebagai alas serta perbekalan untuk mengisi perut yang telah disiapkan oleh Bu Darminto sedari rumah.
"Mari kita makan dulu." Damar membuka tutup rantang dan mengendus aroma tempe-tahu yang dibumbui saus tiram, serta setumpuk sayur bayam beraroma bawang yang mengundang air liur.
"Ibu mas Damar ini enak sekali lo masakannya."
"Kan Ibu buka catering, mas."
"Oh pantasan." Sahut Rangga tertawa sambil menyendok nasi ke piringnya. "Istri saya nggak bisa masak, begitu juga saya, kami berdua pernah kan iseng masak nasi goreng dengan bumbu-bumbu sesuai yang ada di panduan. Hasilnya gagal, gosong dan bumbunya tidak teraduk merata."
"Wah, mau saya ajarin?" Damar tersenyum.
"Memang Mas bisa masak?"
"Bisa dong, dari kecil nemenin Ibu masak disuruh ngambilin bumbu ini itu akhirnya ngerti takarannya dan cara masaknya."
"Saya selalu kagum sama orang yang pintar masak."
"Berarti mas kagum dong sama saya?" Damar menarik alisnya.
"Bangetlah!"
"Padahal harusnya saya yang kagum sama mas."
"Karena?"
"Karena mas selalu berjuang untuk cita-citanya, tanpa pernah mau menyerah. Dan cerita-cerita mas, selalu membuat saya percaya bahwa usaha tidak pernah mengkhianati hasil. Kalau ingat cerita-cerita mas, saya selalu menandaskan kepada diri sendiri untuk tidak mudah menyerah. Apapun yang terjadi di kehidupan saya." Jawab Damar, menyadari betapa Bersama Rangga, ia bisa berbicara lepas dan panjang lebar. Damar sendiri selalu dinilai orang lain sebagai manusia yang irit bicara, tak banyak suara dan tak berkonflik. Damar percaya bahwa banyak bicara merupakan sumber dari konflik di dunia. Namun kepada Rangga, ia mampu mengatakan sebegitu banyak kalimat tanpa merasa terbebani oleh belenggu.
Mendengar kalimat tersebut, Rangga otomatis memeluk Damar. Tepat di belakang telingnya, Rangga berbisik. "Saya sayang sama mas."
"Saya juga mas." Kata Damar, merasakan wajahnya panas.
Di Twitter, puluhan atau mungkin bisa ratusan followernya, yang setia menanti foto-foto telanjangnya, berebut meminta perhatiannya dengan sebilah kata "Sayang". Sehingga kata-kata semacam "saya sayang kamu, Damar" itu sudah seperti makanan sehari-hari, bukan berarti dia mendiskreditkan kata-kata tersebut, ia lebih memilih kesimpulan bahwa rupanya sebegini bahagianya bisa disayangi oleh banyak orang, apalagi disayangi oleh seseorang yang selama ini hanya sebatas ia kagumi.
"Semalam suntuk saya bercerita kepada mas Rangga tentang masa lalu saya, sekarang saya boleh dong giliran nanya, mas pernah punya pacar nggak?" Damar melanjutkan bertanya, ketika pelukan mereka sudah merenggang. Sedangkan perubahan ekspresi Rangga sangat sulit untuk diabaikan, Dokter itu hanya tersenyum, seperti menelan pil pahit, dia berbicara:
"Sebenarnya, sekarang saya juga sedang berhubungan dengan seseorang Mas." Dan kini giliran air muka Damar yang tidak mungkin diacuhkan.
"Mas kenapa?" Rangga bertanya, dan ada sensasi aneh di perutnya.
"Ti...Tidak." Damar berdeham mengatasi kegugupannya. "Jadi, mas sekarang sudah punya pacar cowok?"
"Kami tidak memberinya judul sih mas." Lanjut Rangga, merasakan remuk redam yang sepertinya mulai ia pahami dari mana asalnya. "Hanya saja dia sayang sama saya, dan begitu juga sebaliknya."
Lantas kenapa kamu bilang sayang kepadaku? Tanya Damar membantin, yang ketika makin ia telusuri, makin membuatnya sakit hati.
Damar terpekur, menyipitkan mata memandang cakrawala laut selatan, cahaya matahari keemasan mulai menititk-nitik di sana. Sedangkan napasnya mulai berat ketika merasakan hatinya yang remuk redam.
"Dia tahu mas ke sini?" tanyanya, hanya itu yang terlintas di kepalanya saat ini sementara ia merasa dirinya sungguh seperti perebut lelaki orang.
"Tahu mas." Rangga menjawab, ia tahu jujur kali ini membawa dampak besar kepada satu hal yang sangat ia jaga, kebersamaannya dengan Damar. "Dia datang ke Jogja besok untuk ikut fellowship bareng saya."
"Sama-sama dokter?"
"Iya, mas." Pahit, Rangga mengatakan semuanya, melepaskan kejujuran yang digantikan dengan pil pahit yang harus ia telan.
"Dia tidak cemburu kalau mas ke sini menemui saya?"
"Mas kok ngomong gitu?"
"Terus saya harus ngomong bagaimana?" ada yang menggelegak dari dalam dada Damar.
"Jangan mengambil dari sudut pandang itu mas, saya sayang sama Mas Damar dan saya rasa itu cukup?"
"Cukup bagaimana maksudnya?"
"Ya kita ini."
"Kita? Maksudnya memposisikan saya menjadi orang ke-empat?" Damar mengatakan semua itu pelan-pelan. Cukup membungkam Rangga yang sedari tadi ingin mengajukan kalimat pembelaan. "Menjadi orang ketiga saja rasanya sudah salah mas, dan mas ingin memposisikan saya menjadi orang ke-empat."
"Tapi saya tidak bermaksud demikian, Mas." Rangga menjelaskan. "Dia tahu saya mengagumi mas dan kita berhubungan baik. Lagipula dia juga merasa tidak perlu cemburu dengan hubungan kita karena dia tahu saya cuma menganggap Mas Damar sebagai teman, yang sangat saya sayangi."
"Teman? Yang sangat kamu sayangi?" Dalam hati, Damar mengulang-ulang kata-kata itu berusaha memahami artinya. Lalu yang semalam itu apa? hanya pelampiasan nafsu belaka? Ia pernah ditinggal mati Handana, orang yang mengajarinya untuk mencintai dengan tulus, orang yang mengajarinya untuk jatuh cinta bahkan sebelum ia bisa sempat membalas wujud cinta itu. Ia juga tahu rasanya ketika orang yang dikiranya bisa membuatnya kembali merasakan cinta, justru selingkuh dengan orang lain. Ia pikir ia telah lunas mengalami berbagai jenis sakit hati dari dua orang yang ia sayangi, tapi rupanya itu tidak cukup, satu hal lagi kini ia harus mencicipi: rasanya dipermainkan. Dan bahkan gabungan sakit hati sebelumnya tidak bisa mengalahkan sakit hati yang sekarang ini. Mencintai seseorang yang berlatar belakang kagum tidak lah setimpal dengan jenis cinta yang sesungguhnya, karena kagum hanya menyesatkan pada ruang abu-abu tanpa makna yang bebas melakukan kesalahan tanpa mau disalahkan. Seperti saat Rangga mengatakan berkali-kali kata sayang sementara yang didengar Damar justru sebaliknya.
YOU ARE READING
Nudimasocist
DragosteDamar, seorang arsitektur lepas yang menyukai kebebasan, jauh di dalam lubuk hatinya, menyimpan hasrat untuk merefleksikan makna kebebasan tersebut dengan menunjukkan kesejatian dirinya tanpa perlu batasan busana. foto-fotonya ia unggah di media twi...