01

14.3K 274 38
                                    

Takdir itu seperti kejutan. Siap atau tidak, harus diterima dan dijalani.
-KCSI 01-
🌿🌿🌿


Mentari pagi muncul menyapa penduduk bumi dengan sinar hangatnya. Langit cerah membuat sinarnya merata, memberikan kesan ceria dan semangat untuk memulai pagi. Embun-embun di dedaunan mulai menetes, membuat sebuah tangan yang menyentuhnya ikut basah.

Sepasang mata indah dengan bola mata hitam pekat memperhatikan sekitar taman kecil di belakang rumahnya. Gadis yang menutupi sebagian besar wajahnya dengan kain itu menghirup udara segar dengan rakus, matanya terpejam.

Gadis itu membuka matanya, kembali berjalan menyusuri taman belakang rumahnya. Taman yang didominasi warna hijau itu tidak pernah membuatnya bosan datang berkunjung.

Namun langkah kakinya mendadak terhenti saat mata bulatnya melihat sebuah pemandangan yang membuatnya tercengang. Gadis itu berlari cepat mendekati dinding rumah. Gadis bercadar itu menyentuh kain yang terulur dari jendela di lantai dua rumahnya. Gadis itu mengangkat wajahnya, dan kembali tercengang untuk kedua kalinya saat melihat sebuah jendela besar terbuka dengan lebar. Tanpa membuang banyak waktu lagi, ia berjalan meninggalkan taman dan memasuki rumahnya dengan tergesa-gesa.

Gadis itu berlari cepat, menaiki puluhan anak tangga yang akan membawanya ke lantai dua. Di ujung tangga, ia belok ke arah kiri dan menghampiri sebuah pintu kedua dari ujung lorong.

Tanpa mengetuk pintu, gadis itu membuka pintu kamar yang memang tidak di kunci. Matanya mencari-cari sesuatu di dalam kamar. Namun hanya ada barang-barang yang tidak di tempatnya yang ditemui gadis itu.

"Kak Meisya," gumamnya dengan nada lirih. Beberapa detik kemudian, ia memutar tubuhnya, kembali keluar dari kamar dan menuruni anak tangga dengan cepat. Gadis itu bahkan tidak punya waktu walau sekedar melihat tatapan aneh para pekerja.

Gadis itu mengedarkan pandangannya mencari seseorang.  Namun hanya ada dekorasi indah di seluruh penjuru ruangan. Kain-kain indah berwarna putih bersih menutupi beberapa bagian dinding, dan dihias dengan beberapa bunga putih juga.

Gadis itu kembali berlari kecil, memasuki sebuah ruangan sebelah kiri saat pertama kali memasuki rumahnya. Di ruangan 20 × 18 meter itulah ia menemukan sosok yang dicarinya.

"Iya. Ini garamnya masih kurang.  Tambahin setengah sendok lagi. Jangan sampai masakan ini tidak sempurna," wanita parubaya yang didatangi gadis itu tengah sibuk memberikan instruksi kepada seorang pelayan berseragam putih dengan beberapa garis hitam.

"Ma," gadis bercadar itu terengah, mengatur nafasnya secara perlahan.

"Zahra? Kenapa di sini?" Wanita itu balik bertanya kepada gadis bermata indah bernama Zahra itu. Dahinya berkerut, menandakan kebingungan dalam dirinya.

"Kak Meisya. Kak Meisya nggak ada di kamarnya, Ma." Zahra berujar dengan napas masih tersengal.

Mama membulatkan matanya, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Zahra.
"Jangan bercanda kamu! Meisya nggak bakalan kabur dari kamarnya. Ini hari pernikahannya,"

"Ayo ke kamar Meisya, Ma." Zahra menarik halus Mama. Mama tidak berontak, namun ia berjalan seolah tidak mau. Ia terlalu takut jika kenyataan berat itu benar-benar menimpanya.

Sebelum menaiki tangga, Zahra dan Mama melihat ada Papa yang sedang berjalan di sekitar tanggal dengan sebuah telepon seluler bertengger di telinganya.

Zahra menceritakan apa yang sudah ia katakan pada Mama. Sama halnya dengan Mama yang kurang percaya, Papa pun juga hampir tidak mempercayainya. Papa dengan semangat menaiki anak tangga dan berjalan di depan lebih cepat.

Ketiganya tercengang --terutama Papa dan Mama yang menemukan keadaan kamar Meisya yang begitu berantakan.

Ketiganya merasa frustasi --tidak percaya jika Meisya melakukan hal bodoh seperti ini. Untuk apa Meisya kabur di hari pernikahannya? Jika tidak ingin menikah, kenapa tidak menolak saat hari lamaran dulu?

Semuanya bertanya-tanya dan dilanda kebingungan. Apalagi beberapa jam kemudian keluarga mempelai pria akan datang untuk mempersunting Meisya. Mama sudah menangis sesegukan sambil memeluk bingkai foto hitam yang terdapat foto Meisya tengah tersenyum.

"Kenapa kamu melakukan ini, Nak? Apa kamu tega melihat kami khawatir?" Mama mulai berbicara disela-sela tangisnya, berharap orang yang membuatnya menangis dapat segera kembali.

"A-aku akan mencoba menghubungi teman-teman kak Meisya. Mungkin kak Meisya ada di rumah salah satu temannya," tawar Zahra. Tanpa menunggu jawaban, ia sudah berjalan keluar kamar dan memasuki sebuah kamar tepat di samping kamar Meisya --kamar paling ujung.

🌿🌿🌿

Semuanya terdiam dengan fikiran masing-masing. Tidak ada yang berniat berbicara, karena terlalu bingung menghadapi masalah saat ini.

"Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya, Pak. Kami tidak menyangka jika Meisya akan melakukan hal bodohnya seperti ini," ujar Papa dengan kepala tertunduk. Rasa malunya sudah runtuh seketika.

"Lalu bagaimana dengan keluarga kita, Pak? Tamu mulai berdatangan. Dan jika Rayhan mengetahui hal ini, saya tidak yakin jika dia tidak akan membuat perusahaan anda bangkrut." Ujar Deon, calon besan Papa.

Papa langsung mengangkat wajahnya. Ia terlalu terkejut dengan ancaman itu. Papa maupun yang lainnya tidak meragukan kemampuan Rayhan untuk itu.

"Apalagi kehormatan keluarga kita sedang terancam sekarang. Bukan hanya keluarga kami, tapi keluarga anda juga," imbuh istri Deon, Diana.

Papa dan Mama terdiam cukup lama dengan kepala tertunduk. Hingga beberapa menit selanjutnya, Papa akhirnya mengangkat wajahnya. Pandangannya tertuju pada Zahra yang akan keluar dari ruangan.

"Bagaimana kalau kita menikahkan Zahra dan Rayhan?"

Semuanya terkejut mendengar usul Papa. Terutama Zahra. Ia berhenti di ambang pintu dan menoleh cepat ke arah Papa.

"Menikah dengan Mas Rayhan?" Tanya Zahra memastikan. Sungguh, bertemu Rayhan pun ia tidak pernah. Lalu bagaimana mungkin dengan menikah?

"Tidak masalah," jawab Diana. "Iya kan, Pa?"

"Iya. Yang terpenting sekarang, kehormatan keluarga kita." Tambah Deon.

Papa menatap lembut mata Zahra. "Sekarang, kehormatan keluarga kita ada di tanganmu, Nak."

Zahra bimbang dengan keputusan mendadak ini. Kepalanya tertunduk dengan jemari saling tertaut di depan perut. Ini antara masa depan dan kehormatan keluarganya.

"Nak, kami membesarkan dan mengurusmu selama 20 tahun. Apa kamu tidak ingin berkorban sedikit demi kami?"

Ucapan Mama semakin memperkeruh pikiran Zahra. Dia berat melakukan ini. Dengan bermodalkan bismillah, Zahra mengambil keputusannya setelah beberapa menit diam.

"Baiklah."

🌿🌿🌿

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 20, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Ketulusan Cinta Seorang IstriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang