Tidak ada yang bisa menjelaskan kepada Woojin apa arti rasa berdebar di dadanya.
Apakah dia sedang sakit?
Sakit jantung mungkin?
Atau sakit paru-paru kronis?
Tapi satu hal yang pasti, rasa berdebar ini dia rasakan setelah bertemu dengan tetanga...
Bel berbunyi dan semua mahasiswa di dalam kelas pun segera keluar dari kelas, beberapa segera menuju ke perpustakaan, ada yang berdiri di depan kelas berbicara soal makan malam apa yang harus mereka makan, yang lain langsung pergi keluar dari kampus dan hari ini Woojin ingin pergi minum bersama Jihoon. Mereka berjalan ke daerah kampus yang dipenuhi oleh tempat belanja dan tempat makan yang penuh orang ini. Tidak heran karena sebagian besar mahasiswa yang selesai kelas malam berjalan keluar ke area ini untuk mencari makan atau refreshing dengan berbelanja.
Di persimpangan dekat kampus, belok ke kiri, bejalan dua blok lalu belok ke kanan, restauran kecil ini tempat favorit Woojin dan Jihoon untuk makan malam. Tempat bakar-bakar daging yang tidak terlalu ramai tapi dagingnya berkualitas dan tante pemiliknya juga sering memberikan camilan gratis untuk Woojin dan Jihoon. Terutama untuk Jihoon. Dia memang anak yang manis dan ramah, kebalikan dari Woojin yang terlalu bersemangat dan bukan tidak ramah tapi urakan. Dan seperti biasa mereka memesan 4 porsi daging, 2 botol soju, dan 2 botol bir sambil menceritakan masalah-masalah mereka.
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
"HAH?" Jihoon berteriak kaget dan hampir seluruh pelanggan di dalam restauran melihat ke arah mejanya.
"Yah! Suaramu!" Woojin berusaha mengingatkan bahwa mereka ada di tempat umum sambil menatap Jihoon dengan jengkel. Jihoon pun melihat sekelilingnya, meminta maaf, sambil menundukkan kepalanya dan menutup mulutnya dengan rasa bersalah.
"Kau mencium tetanggamu?" Jihoon memastikan apa yang barusan dia dengar. Woojin menganggukkan kepalanya dengan tatapan lurus memandang Jihoon dan kedua tangannya tergenggam di atas kedua pahanya. "Lalu?"
"Lalu aku berlari meninggalkannya." Woojin mengambil gelas berisi campuran bir dan soju dan meminumnya seteguk. Jihoon tidak dapat menyembunyikan rasa kaget dari wajahnya sambil menggengam jepitan daging di tangan kanannya. Daging di hadapan mereka pun mengeluarkan asap yang mengepul. Sudah gosong lebih tepatnya. "Woi woi! Gosong!" Woojin berteriak sambil mengambil jepitan daging dari tangan Jihoon dan membalik daging-daging yang terpanggang. Jihoon pun tersadar dari kekagetannya.
"Wah, kamu memang brengsek, Woojin-a." Jihoon menyindir Woojin yang memberikan beberapa daging yang sudah matang ke piring Jihoon.
"Hah?" Kali ini Woojin tidak terima. "Maksudmu?" Lanjutnya sambil menghentakkan jepitan daging berkali-kali.
"Aku tidak kenal tetanggamu ini tapi bayangkan kalau kau dicium oleh orang asing lalu orang itu kabur." Jihoon mengambil selada dan membuat bungkusan dari selada dan daging. Woojin menaruh jepitan daging di pinggiran panggangan, berpikir sambil melipat tangannya di dada dan memegang dagunya.
"Aku pasti akan mengejar dan menghajarnya sih." Woojin menjawab. Jihoon menganggukkan kepalanya dan Woojin melebarkan matanya menatap Jihoon. "DIA MEMBENCIKU DONK?"
"SSSTT!!!!" Jihoon menyuruh Woojin yang histeris ini untuk tenang sedikit, seluruh pelanggan di toko ini menatap mereka lagi. Jihoon berdiri dan membungkukkan badannya ke sekelilingnya, meminta maaf lagi. Woojin terlihat sedih, mengigit bibir bawahnya dan mengerutkan wajahnya, dia hampir menangis. "Kamu sendiri yang menciumnya tanpa berpikir panjang!" Jihoon menyalahkan sahabatnya ini sambil menaruh daging ke dalam panggangan. Muka Woojin semakin mengerut dan mulai terdengar suara isak tangis darinya. Ini membuat Jihoon sedikit takut, bukan takut dimarahi tapi sebentar lagi Woojin akan mengeluarkan tantrumnya.