PROLOG

12.2K 686 37
                                    

Haiiii, my beloved readers. Ada series baru lagi nih. Akhirnya terbit juga The Flower Series nya. Semoga suka bacanya, jangan lupa komen, jangan lupa vote. Silakan komen sepuasnya, saya senang kalau kalian juga senang baca cerita saya.

🌻🌻🌻

Olivia menatap Vania dengan sinis. Wanita satu ini ya nggak bosan-bosannya mengganggu hidupnya. Kasihan sekali banyak kerutan di wajahnya padahal usia Vania tidak beda jauh dari Olivia.

Olivia melirik kaca di samping kanannya dan memuji dirinya sendiri. Astaga Livvy, cantik banget sih kamu di usia 50 tahun. Masih seksi seperti ketika pertama kali bertemu Ben di Cannes. Aduhhh... serasa melihat Julianne Moore deh aku.

"Sudah puas berkacanya?" tukas Vania dengan sinis.

Olivia kembali menunjukkan wajah datarnya. "Apa maumu, Van? Cepat katakan, aku sibuk!"

"Aku mau kau kembalikan anak-anakku!"

Olivia membulatkan bola matanya. "What? Sejak kapan kau titipkan anakmu padaku?"

"Jangan pura-pura, Olivia! Aku mau Calvin dan Carmen kembali padaku!"

Olivia menarik nafas panjang untuk meredakan amarahnya. Disinilah dia, Olivia Kurniawan, kembali bertarung dengan wanita tua sialan yang selalu merengek mengganggu kehidupannya. Selama ini Olivia tidak pernah menanggapi Vania tapi ketika wanita sialan ini mulai sering mengganggu Carmen, putri keduanya, Olivia tidak bisa tinggal diam.

"Anak-anakku bukan barang yang bisa kau buang ketika kau bosan dan kau ambil ketika kau butuh, Vania!" Suara Olivia mulai terdengar dingin, sedingin kutub utara. Wajah Vania mulai kelihatan pias.

"Aku tidak bisa hamil bersama Pandji dan aku mau anak-anakku kembali, Olivia! Kau sudah punya dua anak dari rahimmu sendiri dan kau tidak boleh serakah!"

"Calvin dan Carmen adalah anak-anakku sama seperti Colin dan Claire. Kau tidak bisa mengambil mereka seenakmu!"

"Aku mau mereka! Titik!"

"Tapi aku tidak menginginkanmu dalam hidupku!" Sebuah suara lain yang lebih dingin menginterupsi mereka.

"Calvin!" seru Olivia kaget. "Kamu ngapain disini, Bang?"

"Kenapa Bunda nggak kasitahu Abang kalau Bunda mau ketemu perempuan ini?"

"Bunda bisa mengatasinya sendiri kok, Bang," jawab Olivia dengan lembut.

"Tapi Abang tidak suka Tante ini mengganggu Bunda dan Carmen!"

"Aku Mama yang melahirkanmu, Calvin!" desak Vania ngotot.

Calvin menggeleng keras. "Jangan pernah mengganggu kami lagi, terutama Carmen adikku atau aku akan memperkarakanmu ke polisi. Ayo Bun, kita pulang!" Calvin meraih tangan Olivia dan menggenggamnya erat.

"Aku akan tetap mengambil kalian berdua, Calvin!"

Calvin berhenti dan menghela nafas panjang. "Aku dan Carmen tidak membutuhkan Ibu yang membuang anaknya demi selingkuhannya. Kau dengar?! Kau bahkan membuang adikku di depan pintu rumah kami begitu dia lahir. Ibu macam apa kau?" teriak Calvin sehingga membuat seisi restoran menonton mereka bertiga.

Vania marah dan melangkah pergi lebih dulu dari mereka.

Olivia memegang dadanya yang tiba-tiba sakit. Dia lemas seketika. Semua beban yang ditahannya seakan lepas.

"Bunda..." Calvin memeluk Olivia dengan erat dan membimbingnya keluar dari restoran itu.

Mereka tiba di tempat parkir dan Ben keluar dari mobil menyambut mereka.

"Ayah..." seru Olivia dan berlari memeluk suaminya.

"Ayah yang suruh Calvin jemput kamu, Bun. Maaf ya Ayah harus jaga Carmen. Tuh... anaknya nyariin Bunda terus, nangis melulu lagi!" keluh Ben sambil mendorong pelan Olivia masuk ke dalam mobil.

Mereka berempat sudah berada di dalam mobil. Olivia memeluk erat Carmen yang masih menangis.

"Kakak mau ganti nomor handphone aja, Bun biar Tante Vania nggak ganggu Kakak lagi," isaknya.

"Iya Sayang, abis ini Abang Calvin belikan nomor baru untuk kamu. Iya kan, Bang?"

Calvin mengangguk di belakang stir dan Ben mengelus bahunya pelan.

"Bun... Permohonan beasiswa Kakak ke Canada diterima." Kalimat itu sukses membuat ketiga kepala memperhatikan Carmen dengan wajah terkejut.

"Kamu dapat beasiswa kuliah ke Canada, Sayang?" ulang Ben tidak percaya.

"Ihhh Ayah... Kakak kan pintar, masa Ayah nggak percaya?"

"Kamu nggak melarikan diri dari Tante Vania kan, Sayang?" tanya Olivia dengan sangat lembut.

Carmen menunduk.

"Karena kalau kamu memilih jauh dari Bunda hanya karena Vania, Bunda akan sangat sedih!"

"Bunda..." Carmen menangis lagi. "Awalnya karena itu, Bun tapi setelah Kakak pikir lagi rasanya bagus juga Kakak belajar mandiri di negeri orang karena selama ini kan Kakak selalu bergantung sama Bunda. Boleh ya, Bun?"

Olivia terdiam dan dada kembali terasa sakit. Dia menarik nafas panjang tapi airmatanya malah mengalir tanpa bisa dicegah. Kalau dia melarang Carmen pergi, rasanya seperti menghalangi cita-cita putri kesayangannya. Tapi kalau dia ijinkan Carmen pergi, rasanya seperti ada yang tercabut dari hatinya.

"Bun..." Ben yang duduk di kursi depan bergerak untuk menyentuh punggung istrinya.

"Bunda..." panggil Calvin lagi.

Olivia menarik nafas sekali lagi. "Oke... Kakak boleh pergi dan kuliah baik-baik di Canada tapi Kakak nggak boleh larang Bunda untuk datang paling tidak sekali tiga bulan. Is it a deal or not?"

Carmen langsung mengangguk dengan semangat. Dia tahu dia harus patuh pada Bunda sebelum Bunda berubah pikiran. Walaupun berat rasanya berpisah dari wanita yang paling dicintainya, tapi Carmen harus mengejar cita-citanya.

Montreal, here I come!

🌻🌻🌻

SEE YOU NEXT CHAPTER GENGS!

Jangan lupa VOTE dong 😍😍😍

Love you all,
-def-

CARMEN - Love in Montreal Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang