Chapter 2

852 113 12
                                    

Meskipun sudah berjanji pada Sehun untuk menahan diri, dia tetap saja mendatangi Luhan di kamarnya.
Sehun bisa marah, nanti. Tapi dia tidak peduli.

Bagaimana mungkin dia tahan berdiam diri begitu saja saat gadis yang sudah ditunggu-tunggunya sekian lama sekarang ada di rumah yang sama dengannya?

Dia berdiri di sudut ranjang, mengamati Luhan yang tertidur pulas seperti bayi. Sejenak kemarahan menyelimuti hatinya, sampai kapan dia hanya bisa melihat Luhan saat gadis itu sedang tertidur?.

Sehun harus cepat. Mereka sudah sepakat tentang Luhan, padahal jarang sekali mereka berdua sepakat. Dia dan Sehun bertolak-belakang dalam segala hal.

Sehun cenderung baik hati dan menggunakan cara-cara pintar untuk meraih tujuannya, sedangkan dia selalu menggunakan cara-cara licik, bukan cara pintar untuk mendapatkan apapun yang dia inginkan.

Dan seperti yang Sehun katakan tadi, dia sangat kejam.

Tapi Luhan adalah gadis yang sudah menyentuh perasaannya. Mungkin gadis itu sudah melupakannya, bahkan mungkin gadis itu tidak menyadarinya, tapi kejadian dua belas tahun lalu itu tidak akan pernah dilupakannya.

Pertemuan pertamanya dengan Luhan sekaligus hari dimana dia memutuskan akan memiliki Luhan.

Sehun harus memaklumi ketidak sabarannya, dia sudah menunggu selama dua belas tahun. Menunggu dan menunggu sampai Luhan siap menjadi miliknya. Dan sekarang gadis itu ada di depan matanya.

Dia mendekat, tangannya menyentuh pipi Luhan dengan lembut. Luhan bergeming, masih pulas, tidak menyadari ada sosok yang mengamatinya lekat di tepi ranjang nya.

“Kau milikku Luhan, jangan lupakan itu.”

*
*
*
*

Luhan bermimpi. Dia berada di sebuah taman hiburan yang sangat ramai. Penuh dengan pedagang dan para orangtua yang menggandeng anak-anak mereka.

Suara musik dari berbagai stan permainan dan suara-suara manusia terdengar bercampur menjadi satu, riuh rendah di telinganya.

“Luhan-ah, jangan ke situ.” suara neneknya terdengar memperingatkan.

Luhan mengernyit. Neneknya masih hidup? Dia menolehkan kepalanya dan mendapati neneknya berdiri di belakangnya, neneknya benar-benar masih hidup. Hidup dan tampak lebih muda.

Dengan bingung Luhan mengamati sekeliling, dan menyadari kalau bukan dia yang dipanggil neneknya. Di sana berdiri seorang anak, mungkin delapan tahun, kurus , dan agak canggung. Itu adalah dirinya yang masih berumur delapan tahun!

“Jangan bermain terlalu jauh Luhan, nenek tidak mau kamu tersesat, di sini sangat ramai.” sang nenek menggandeng tangan Luhan kecil. Lalu membawanya ke sebuah kursi kosong yang terletak di pinggir taman.

“Duduk di sini dulu, nenek akan membelikanmu es krim,” kata neneknya sambil menunjuk stan es krim dengan antrian pembeli yang panjang, yang terletak kurang dari seratus meter dari tempat mereka.

“Jangan kemana-mana dan jangan berbicara dengan orang asing. Kalau ada apa-apa teriak saja, nenek pasti akan mendengarnya.”

Luhan kecil mengangguk, tapi matanya memandang sekeliling dengan penuh semangat. Luhan tetap mengamati dari kejauhan, kenangan ini masih terpatri samar-samar di benaknya, kenangan saat pertama kali dia di ajak ke taman hiburan.

Tiba-tiba Luhan kecil melangkah turun dari kursi, dan mulai berjalan menjauh. Luhan langsung panik.

Hey… Kembalilah, kau bisa tersesat!

Dengan gugup Luhan menoleh ke arah sang nenek yang sedang antri di stan es krim, dia ingin berteriak tapi entah kenapa suaranya tidak keluar. Setelah beberapa kali usaha yang sia-sia, akhirnya Luhan memutuskan untuk mengikuti Luhan kecil.

From The Darkest Side (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang