1. Unspoken Heart

75 3 0
                                    

May Arella 8 tahun...

"Dasar anak Bodoh! Belajar saja tidak becus! Bisanya hanya menghabiskan uang saja! kamu kira kita orang kaya!? Mama dan Papa mencari uang siang malam untuk membiayai kalian! Jangan bersantai-santai dan buang-buang uang saja!"

Teriakan-teriakan itu bergema di sekeliling kepalanya. Rasanya Ia ingin segera menutup telinganya, ia ingin lari menjauh dari omelan-omelan tiada henti ini.

Apa salahnya mendapat nilai kurang baik sesekali? Ia sudah lelah belajar. Tak ada lagi gairah di dalam dirinya untuk belajar. Ia bukannya tidak berusaha. Tapi ia telah lelah seharian belajar di sekolah dan ketika pulang harus les sampai sore juga. Sampai di rumah tubuhnya sudah tidak sanggup lagi terjaga untuk belajar mempersiapkan ujian-ujian yang diadakan sekolahnya hampir setiap hari.

Perlahan air matanya mengalir keluar karena merasa tidak dihargai. Apa arti nilai 9 nya yang lain dibanding satu nilai 4 pada ujiannya.

Kemarin itu ia sangat lelah dan tidak sanggup lagi mengulang pelajaran yang akan diujikan. Padahal akan ada 2 ujian dan begitu banyak PR yang harus diselesaikan. Sorenya kebetulan ia hanya sempat mempelajari salah satu ujian dan mengerjakan seluruh PRnya. Ia tidak mungkin pula bolos les Bahasa Inggrisnya. Mamanya bisa menghajarnya. Ia di posisi serba salah. Mengapa pula mamanya tidak melihat hasil ujiannya yang satu lagi? Ia telah mendapatkan nilai 8 untuk mata pelajaran itu. Mengapa mamanya hanya melihat kejelekannya saja? Mengapa mamanya tak pernah memujinya?

Tiba-tiba kertas ujiannya dilempar oleh mamanya ke arah mukanya membuatnya terkejut dan tersadar dari pikiran-pikirannya.

"Jangan bisanya hanya menangis!! Belajar yang benar!! Awas kalau nilaimu seperti itu lagi! Contoh kakakmu! Ia selalu mendapat nilai yang baik! Tidak memalukan sepertimu!" bentak mamanya kesal sambil berlalu pergi.

Teriakkannya tertahan di tenggorokan. Ia tak mungkin membalas perkataan mamanya. Meski ia tidak sepenuhnya salah. Sebelum melakukan hal tersebut, ia sudah dapat merasakan perihnya tamparan yang akan mamanya berikan jika ia berani melawan. Akhirnya kekecewaan, kesedihan dan juga perasaan bersalah karena tak pernah memuaskan kedua orang tuanya disimpannya sendiri dalam tangisannya yang kuat-kuatnya ditahan agar tidak bersuara sepilu hatinya.

□■□■□

May Arella 13 tahun...

"May Arella Diansasta, mendapat nilai terbaik dalam ujian kemarin!" Ibu Miruri mengumumkan kepada seisi kelas 8C.

Kemudian mulai terdengar bisikan di sana sini dan beberapa orang menengok ke arah May duduk di barisan agak belakang. Ada yang menyuarakan kekagumannya dan ada yang mencemooh dan mencibir. May yang diperhatikan dari segala arah tersebut hanya tertunduk malu dan sedikit tersenyum. Ia senang akhirnya usahanya tidak sia-sia. Kemarin ia telah belajar mati-matian.

Tiba-tiba terdengar tepuk tangan yang begitu terlambat entar dari mana membuat seisi kelas mau tak mau ikut bertepuk tangan. Kemudian Ibu Miruri memberikan kertas ujian anak-anak melalui anak yang duduk paling depan untuk dibagikan dan mulai mencatat di papan tulis.

"Wow...! Kamu hebat sekali May. Nilai 95 untuk pelajaran Bu Miruri merupakan sebuah keajaiban." puji Rani sambil mengintip dari punggung belakang May. "Beri tahu aku cara belajarmu."

"Ah, hanya keberuntungan." jawab May tersenyum malu.

"Pelit sekali kau, May, tak mau bagi-bagi ilmu kepada kami." celetuk Michael yang duduk di samping Rani.

"Kapan-kapan kita belajar bersama saja." jawab May sambil tersenyum.

"Memangnya kau sempat? Bukannya jadwal lesmu melebihi padatnya jadwal sekolahmu, ya?" sebuah suara tiba-tiba terdengar meanggapi perkataan May dengan nada sinis yang menyakitkan membuat May segera berpaling ke arah suara tersebut.

KliseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang