Hujan

41 2 0
                                    

Hujan turun dengan derasnya tadi malam. Membuat aku terlelap demikian nyenyaknya. Entah sudah berapa lama aku tak tidur senyenyak itu. Bangunku pagi ini tidak seperti biasanya.

Aku mencoba mengingat apa yang terjadi saat aku membuka mataku pagi ini. Pertemuan semalam rasanya seperti mimpi. Ia muncul lagi dalam hidupku. Ingatanku mencoba mengingat detail kejadian semalam.
***
"Do...di?" Kataku lirih.
Dengan suara khasnya ia menyebutkan namaku, "Ratih...."
Kami saling memandang untuk beberapa saat. Terkesima, menatap tak percaya apa yang ada di depan kami masing-masing.
"Loh, kalian sudah saling kenal?" Suara Risa memecahkan kebekuan kami.
"Eh... iya, sedikit," cepat-cepat aku duduk berseberangan tempat Dodi duduk, "kami satu kampus."
"Oh ya? Iya ya, benar juga kalian dari kampus yang sama. Kenapa aku ga sadar ya?" Risa langsung duduk di sebelah Dodi, yang sudah kembali duduk.
"Kamu sudah pesan makan, Di?" Tanya Risa kepada pria berkulit putih dan tinggi semampai di sebelahnya.
"Oh, belum. Tadi mikirnya bareng aja."
"Ok, kita pesan makan dulu yuk, aku sudah lapar."
Aku hanya diam memperhatikan buku menu yang sudah terbuka lebar.

Dalam canggung aku sesekali bersitatap dengannya sepanjang kami menghabiskan makan malam. Risa memperkenalkan Dodi sebagai pacarnya. Pertemuan keduanya tak sengaja ketika kantor mereka bekerja sama. Karena sering bertemu akhirnya keduanya sepakat untuk menjalin hubungan.

Aku? Siapa aku? Tentu sebagai adik Risa. Dan kami hanya dianggap teman satu kampus, tak lebih. Getir mulai terasa di hatiku.

***

Semburat mentari menyusup lewat gorden jendela yang tak kututup rapat. Menandakan matahari berusaha tetap eksis meskipun awan-awan mendung masih sedikit menggelanyut di langit. Lamunan akan apa yang terjadi semalam membuatku benar-benar bangun.

Aku berjalan ke arah jendela. Keluar dari selimutku yang nyaman. Menyeruak gorden merah marun yang sangat aku sukai. Kubuka jendela, darinya segera masuk aroma segar. Aroma tanah dan tanaman basah setelah hujan.

Aku menghirup lekat-lekat udara yang ada hingga memenuhi rongga dada. Menghilangkan sedikit sesak yang hadir sedikit. Aku suka aroma ini. Sudah menjadi kebiasaanku untuk menikmati sisa hujan. Rasanya seperti magis.

Wangi hujan ini pun selalu mengingatkan aku pada pertemuan itu. Bukan, bukan pertemuan semalam. Ini pertemuanku jauh di masa lalu yang lampau. Ketika aku pertama kali menemukan takdirku.

***

"Hei, kamu Ratih, kan?" Seorang pemuda duduk di sebelahku.
Aku terdiam melihatnya. "Ya?"
Ia tersenyum. "Dodi. Itu namaku."
Aku kembali bingung.
"Aku selalu melihatmu di sini tiap kali hujan selesai turun."
Aku tak menanggapinya.
"Kamu sangat suka dengan aroma ini, ya?"
"Apa?"
"Ya... aku selalu melihatmu di sini setelah hujan turun. Duduk sambil memejamkan matamu dan menghirup nafas dalam-dalam. Setelahnya semburat senyum pasti menghias di wajahmu."
"Oh... terus?"
"Awalnya aku merasa aneh dengan apa yang kamu lakukan. Ngapain juga ada orang duduk di tengah taman ini selepas hujan. Tapi begitu lihat kamu seakan menikmatinya, aku jadi amat tertarik."
"Hmm...," aku hanya berekspresi datar.
"Dan aku sadar aku jatuh cinta dengan senyum itu."
Seketika aku menoleh dan mengekspresikan ketidakpercayaan.
Ia balas memandangku, "Iya, aku jatuh cinta padamu. Maukah kamu jadi pacarku?"
***

Senja yang Datang KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang