Depresi

40 1 0
                                    

Aku menatap layar laptopku secara serius. Beralinea-alinea cerita kutuangkan dalam lembaran kertas-kertas putih. Tenggat waktuku untuk menyelesaikan novel keempatku ini semakin dekat. Semenjak novel pertamaku menjadi best seller tiga tahun lalu, penulis menjadi profesiku kini. Diikuti dengan novel kedua dan ketiga yang juga best seller mengikuti jejak novel pertama.

Aku memang sudah menyukai menulis sejak lama. Banyaknya lamunan dan khayalan membuat aku dengan mudah menuliskan rangkaian cerita. Selama ini aku lebih banyak menuliskan cerita mengenai kesedihan terinspirasi oleh sendunya senja dan hujan yang amat aku sukai. Mulai novel keempat ini aku baru mulai mencoba menulis dengan cara berbeda, sesuatu yang menyenangkan.

Namun apa yang terjadi pada diriku belakangan membuat bayangan kebahagiaan yang aku rancang sedikit buyar. Aku kesulitan menemukan secercah kebaikan dari alasanku menulis novel ini. Aneh, semua terasa aneh. Seakan bayang depresi itu kembali datang.

***

"Ratih kenapa, Ma?" Tanya Risa yang segera pulang begitu mendapati kabar adiknya berusaha untuk bunuh diri.
"Tak tahu, Ris," jawab mamaku, "untung si mbok menemukannya masih bernyawa meski bersimbah banyak darah." Mama menutupi mulutnya sambil menahan tangis.
Tentu saja, tak terbayang seberapa sedihnya Mama. Ratih adalah anak yang sedari kecil penyendiri dan lemah fisiknya. Mama amat memanjakannya dan tidak membiarkan secuil nyamuk pun menyakitinya. Tapi ternyata Ratih nekat memutuskan mengakhiri hidupnya, siapa menyangka?

Risa menuntun mamanya untuk duduk di ruang tunggu. Beruntung Ratih segera ditemukan. Meskipun sempat kritis di IGD, kondisinya mulai berangsur pulih. Tentunya dengan koneksi papa yang seorang dokter ternama, Ratih diberi penanganan terbaik dan tercepat. "Papa di mana, Ma?"

"Di ruangannya, diam menyendiri. Kau tentu tahu, Papa juga orang yang paling shock dengan semua ini. Dia sangat menyayangi kalian berdua meskipun memiliki watak keras."

Aku hanya bisa mengangguk, memeluk mama yang sudah menangis lagi. Sudah tiga hari Ratih tak sadarkan diri. Semua orang bingung karena tak ada yang menyangka.

"Mama melihat Ratih bahagia tiga tahun terakhir. Dia memang sering pulang malam, tapi dia bilang itu karena dia harus mengerjakan tugas dan banyak alasan lainnya. Mama tidak masalah selagi dia mengabarkan mama jika pulang malam. Tapi...."

"Tapi apa, Ma?"

"Sejak tiga bulan belakangan, cahaya kehidupannya seperti redup. Lebih banyak di kamar, jarang keluar. Bahkan kata si mbok, dia jarang makan. Mama pikir dia sedang sibuk menuliskan tugas akhirnya jadi tak sempat makan. Tapi ternyata seperti ini.... mama salah." Tangis mama semakin pecah.

Aku hanya bisa diam memeluknya. Memang aku sendiri heran. Dia makin jarang membalas pesan-pesanku. Padahal biasanya dia akan cukup cerewet untuk membalas pesan. Walau Ratih pendiam, dia cukup aktif secara tulisan. Bahkan sudah beratus tulisan yang dia tuliskan selama ini.

"Mama... pernah sayup-sayup mendengar tangisan beberapa malam yang lalu. Tengah malam, saat mama pulang malam dan melewati kamarnya. Mama pikir salah dengar karena mama sedang mengantuk sekali. Seandainya... seandainya malam itu mama masuk ke kamarnya."

"Ya... Ma. Tak apa-apa yang penting sekarang Ratih masih selamat. Nanti kita coba bicara dengan Ratih ya, Ma." Aku berusaha menenangkannya.

Tetiba perawat memanggil, mereka bilang Ratih terbangun dengan berteriak dan berontak. Kami segera menuju ke kamarnya. Kumerangsek masuk ke dalam kamar rawatnya. Kulihat para perawat sedang berusaha memegang kedua tangan Ratih. Salah satu tangannya memegang pisau yang dia dapatkan entah dari mana.

"Biarkan aku mati... biarkan...." Katanya lirih.

Aku segera bergegas mendekati dan memeluknya. "Ratih... sudah... ini ada aku, jangan ya Rat, jangan...."

Senja yang Datang KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang