Hari Terburuk

19 1 0
                                    

Wajah pucat Ratih tertutup oleh make up natural yang dia pulaskan. Sebisa mungkin dia menutupi kantung mata yang menggelayut sejak beberapa hari ini. Sudah dua minggu Dodi tak ada kabarnya. Keputusannya untuk tidak menemui Ratih lagi benar-benar dilakukan.

Hari ini Ratih hanya akan mampir ke jurusannya untuk bimbingan skripsi. Pengambilan data sudah lama selesai dan tulisannya pun delapan puluh persen sudah rampung. Namun kejadian yang menimpanya ini membuatnya tak mampu untuk beranjak dari tempat tidurnya, menangis.

Kalau pembimbing skripsinya tak memaksa dia untuk hadir, dia tak akan pernah mau untuk datang ke kampus. Semua terasa berat karena tiap jengkal ingatannya di kampus akhir-akhir ini hanyalah bersama Dodi. Sekarang, dia tak tahu bagaimana harus menjadikan dirinya bersemangat lagi.

"Kenapa kamu, Rat? Kok ga muncul dari kemarin. Kan sebentar lagi kamu selesai." Tanya pembimbingku.

Suaraku tercekat untuk mengatakan kepadanya. "Tak apa, Mbak. Saya sedang tidak bagus kondisi kesehatannya."

"Oh gitu. Soalnya kamu menghilang begitu saja padahal kan biasanya kamu rajin ke kampus."

"Iya, maaf ya Mbak."

"Tak apa. Jadi, sudah sampai mana?"

"Tinggal pembahasan hasilnya bu sedikit lagi. Ini draftnya sejauh ini.

Pembimbing hanya memeriksa sebentar tulisanku. "Ok, aku tunggu minggu depan, kamu selesaikan semuanya ya biar bisa langsung sidang."

"Baik, Mbak."

Langkahku menyusuri jejalanan yang menuju ke pinggir danau. Aku duduk di sana, di salah satu hamparan rumput. Kontur tanahnya yang seperti bukit melandai menuju pinggir danau membuat aku tak akan terlihat dari jalan setapak yang menghubungkan antara gedung rektorat dan balairung. Tapi aku bisa saja menengok ke arah jalan penghubung itu untuk melihat siapa saja yang melintas.

Cukup lama aku termenung di situ. Matahari masih cukup tinggi meski sudah mulai bergeser ke arah Barat. Angin sepoi bertiup lembut karena rimbunnya pohon memerangkap angin itu. Membuat teduh siapapun yang sedang bersantai di sana.

Sayup kudengar ada orang bercengkerama lewat. Suaranya amat kukenal. Dodi. Terburu-buru aku segera bangkit dan mengambil tasku. Berlari kecil menuju sumber suara.

Si empunya suara sedang berjalan bersama seorang teman perempuannya menuju gedung rektorat. Aku mengejar dengan setengah berlari. Hingga hampir mendekatinya aku memanggil namanya, "Dodi... tunggu...," antara nafasku yang satu-satu aku berusaha mengeraskan suaraku agar terdengar.

Dia hanya menoleh sekilas dan tetap berlalu. Aku mendengar teman perempuannya menanyakan siapa aku. "Bukan siapa-siapa," jawabnya. Seketika langkahku lemas untuk mengejarnya. Terhenti begitu saja.

Dia berjalan menjauh bersama temannya itu. Makin jauh sampai aku tak dapat melihatnya lagi. Selain itu mataku mengabur karena air mata yang sudah memenuhi. Hingga akhirnya tak terbendung lagi tangisku pecah. Hatiku tersayat, perih. Dodi, mengapa kau lakukan ini padaku.

***

Aku menjatuhkan tubuhku di tempat tidur. Masih perih dengan kejadian tadi, mata maupun hatiku. Sambil memejamkan mata, bulir air mata itu jatuh lagi. Tetiba si mbok mengetuk pintu.

"Neng, ada teman yang nganter barang. Tapi dia ga masuk, sudah langsung pergi lagi. Ini barangnya, Mbok taruh di mana?"

Dengan langkah gontai aku menyeret tubuhku yang sudah sangat terasa berat. Sambil berusaha menghapus semua jejak air mataku agar tidak terlihat oleh si mbok. Setelah menghela nafas sedalam-dalamnya untuk menenangkan diri, aku membuka pintu. Ekspresi wajah senormal mungkin berusaha kutunjukkan kepada si mbok.

"Mana Mbok?"

"Ini, neng. Orangnya sudah pergi dari tadi. Cowok, ganteng."

Aku hanya tersenyum tipis. Tak membayangkan siapapun. Aku juga memang tidak punya banyak teman, apalagi laki-laki. "Makasih ya, Mbok."

"Iya, Neng. Mbok mau masak lagi di bawah ya Neng."

Aku mengangguk. Setelah si mbok berlalu, aku menutup pintu kamar. Menuju ke tepi jendela. Di pinggir jendela memang dibuat sebuah tempat duduk, yang bisa dipakai untuk bersantai. Aku naik ke atasnya kemudian membuka sebuah kantong berwarna marun, warna kesukaanku.

Sebuah kotak kecil dibungkus kertas kado berwarna emas dan berpita merah marun seperti kantongnya. Aku membuka bungkus kado itu dan nenemukan sebuah kotak kecil berwarna hitam dari kain beludru. Kubuka kotaknya dan menemukan sebuah cincin.

Aku mengambil kembali kantong marun yang terletak di sebelahku, ternyata ada secarik kertas kecil di dalamnya.

Ini memang milikmu. Tapi aku tak bisa menyematkannya untukmu.

Lepaskan aku...karena tanpaku, kau bisa mengepakkan sayapmu lebih lebar.

Aku meremas surat itu di depan dadaku. Rasanya tubuh ini terkoyak menjadi. Beratus-ratus bagian. Tangis tak terbendung menguasaiku. Dunia yang sudah kubangun selama ini terasa runtuh menimpaku. Seketika gelap terjadi. Aku kehilangan kesadaran karena tak mampu menahan kesedihan ini.

#30DWC #30DWCjilid14 #Day14

Senja yang Datang KembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang