Chapter Satu

974 86 18
                                    

GERIMIS turun, membuat aspal tergenang. Menimpa sang pencakar langit bagai bunga yang tersirami air. Udara lembab, suhu terasa dingin menggigit kulit. Meskipun begitu, helikopter pribadi berlalu-lalang seperti lalat di atas bekas makanan yang terbuang.

Di daratan tidak jauh berbeda; mobil berbagai macam warna dan ukuran menghiasi jalanan beraspal legam dengan garis-garis aturan jalan. Beragam iklan ditampilkan di layar monitor yang terpasang di masing-masing gedung ikut meramaikan suasana. Warna-warna neon beradu, di atas lanskap abu-abu gelap itu tampak sangat menarik untuk dilihat. Keindahannya akan terlihat semakin memukau, apabila dinetrai dari ketinggian.

Namun untuk sejenak, mari kita lupakan gemerlap neon pemanja netra dari kota metropolitan. Kota besar di sebuah pulau berukuran cukup luas; Ibukota Sang Negeri Zamrud Khatulistiwa, yang melayang-layang dengan tiang-tiang beton sebagai penyangganya. Beralih pada kondisi di pinggiran yang berbanding terbalik saat ini.

♦♦♦

Jalan tol di belakang begitu sepi. Seperti biasa, penduduk Jakarta takut akan adanya geng pencopet dan begal yang sering melancarkan tindakan tercela mereka di sepanjang jalan ini. Bahkan, tidak kurang dari dua puluh polisi dikirim setiap minggu dalam jadwal rahasia untuk merazia siapa pun yang lewat.

Di tempat itulah, Sakha memejam, sejenak merasakan butiran bening air mata langit menimpa tubuhnya. Ketika dia membuka mata, ia lihat bayangan Monumen Nasional dengan segenap kejayaan dan sejarahnya, yang mana hanya Sakha ingat sekelumit. Hari ini gue bakal panen uang, pikirnya, seraya mengisap rokok untuk terakhir kali, lantas membuang dan segera menginjak puntungnya.

Tin! Tiiinn!

Sakha menoleh. Sebuah mobil sedan berwarna hitam melintasinya dengan kecepatan sedang, sekitar lima puluh kilometer per jam. Dia mengerjap. Untuk sesaat, mobil itu mirip mobil kepunyaan kakaknya.

Apakah ...

Sebentar. Agaknya tidak mungkin, tidak perduli seberani apapun Katerina, dia tidak akan berani melintasi jalur ini. Tidak tanpa seizin ibu.

Tidak mungkin. Itu bukan dia. Dia tidak mungkin ada di sini.

Sakha membuang jauh pikiran itu. Ia men-starter motor, lima detik setelahnya, memacu kecepatan di atas "aspal" jalanan yang terbuat dari kaca tebal yang didesain sedemikian kuat, agar tak mudah rapuh ketika kendaraan berat melaju di atasnya. Sekilas, Sakha tersenyum tipis. Dia suka melihat lampu neon yang dipancarkan lampu ban motornya, gemerlipan di atas kebeningan aspal kaca. Warna-warni, beradu membentuk gradasi cantik.

Peraduan pelangi neon sepanjang jalan yang memukau mata, dan kebisingan suara kendaraan di jalanan menemani Sakha hingga akhirnya dia sampai di tujuan; Monumen Nasional. Dengan segenap kemalangannya, pasca Jakarta dipindahkan ke satu pulau buatan.

Monas-singkatan awam untuk menyebut "Monumen Nasional" sejak dulu-ialah salah satu bangunan bersejarah yang mulai dilupakan masyarakat era supermodern saat ini. Lokasi di mana Monas berdiri, tertutupi oleh gedung-gedung pencakar langit yang lebih tinggi. Maka dari itu, pemerintah setempat memutuskan untuk membukanya bagi umum, agar eksistensi sang bangunan putih dengan emas laksana nyala api di puncaknya ini tidak memudar. Alhasil tempat ini ramai setiap hari Minggu, cocok untuk dijadikan tempat sasaran pekerjaan lihai.

Deru motor milik Sakha tertelan oleh keriuhan di sekitar Monas. Alangkah ramai, begitu banyak orang yang menyempatkan diri untuk datang dan melepas stres hari ini. Seperti yang telah berlalu.

Sakha memarkirkan motor, juga helm di kepalanya. Dengan santai, dia berjalan menuju kerumunan. Kadang ia melihat beberapa anggota gengnya; tersebar di sana-sini. Sakha menyeringai, tahu bahwa mereka tengah menjalankan "aksi lihai". Ada banyak yang bekerjasama dalam melancarkan "aksi", namun tak sedikit yang sendiri. Yash, mencopet.

Sakha bersiul pelan, jelas ia lebih memilih untuk menyendiri dalam urusan copet-mencopet kali ini. Sekelumit informasi mengenai "pekerjaan" Sakha, satu-satunya pencopet yang bisa menandinginya hanyalah sang guru sekaligus ketua geng, Bang Jaka. Sakha berhasil menjadi pencopet tingkat profesional dalam waktu singkat. Itulah sebabnya, dia menjadi murid kesayangan Bang Jaka. Bahkan, Bang Jaka tak segan memberikan Sakha kesempatan untuk mencopet korban yang diincarnya.

Ternamun, sayangnya, semenjak Sakha memutuskan untuk menjadi pencopet solo, hubungan mereka berdua merenggang. Malahan, Sakha berpikiran akan meninggalkan geng mereka selamanya, jikalau bukan karena sahabat baiknya, Darsana. Mereka satu sekolah dan sudah mengenal satu sama lain sejak Menengah Pertama. Darsa-lah yang memperkenalkan si pemuda berdarah Maluku kepada geng ini.

Oleh karena itu, Sakha merasa perlu berutang budi kepadanya.

"Ahem! Arhh ..."

Lamunan Sakha sekonyong buyar, tatkala seorang pria jangkung berkulit putih dan berhidung mancung melintas di depannya dengan langkah diseret. Agaknya, bila dilihat dari fisik, pria barusan memiliki darah keturunan Rusia, Eurasia. Beberapa orang berseragam mengikuti di belakang, seolah mengawal pria tersebut ke manapun ia pergi. Sakha menyiul pelan, lantas melangkah mengikuti mereka tanpa rasa takut sedikitpun. Biasanya kalau bule sampai dikawalin begini, berarti dompetnya beneran tebal, pikirnya, seraya masih mengikuti mereka.

Segala gerak-gerik dari pria Rusia yang dikawal oleh banyak orang itu Sakha amati dengan teliti. Sambil menilik dan menandai titik-titik penting di mana pria tersebut berpotensi menyimpan uangnya: kantong celana, kantong baju, dan tas. Nah! Dia temukan apa yang dicarinya sedari tadi, tonjolan berbentuk persegi empat di kantong celana sebelah kiri.

Pas sekali!, batinnya. Perlahan-lahan ia mendekat, berusaha untuk tak membuat gerakan mencurigakan-pula memastikan tidak ada pengawal yang menyadari keberadaannya. Sambil menembus kerumunan, dengan leluasa pastinya ia akan mencomot apapun yang bisa dibawanya.

Ada seorang pria berjaket yang melintas, kira-kira satu meter dari tempatnya berdiri, hendak keluar dari kerumunan. Sakha mengernyit dengan seringai, matanya menangkap benda hitam panjang yang menyembul dari saku jaket yang pria itu kenakan. Sakha beraksi, tangannya ringan terjulur dan menarik benda itu.

Sret!

Dompet kulit tebal. Sasaran pertama Sakha berhasil.

Namun, berbarengan dengan pekikan lantang.

"Hei! Kembalikan dompetku!" seru seorang bapak setelah merabai kantong jaketnya. "Ah! Dompetku! Dia mencuri dompetku!"

Namun, seruannya seolah tak bermakna di dalam kerumunan manusia malam ini. Hanya beberapa yang menoleh, bertanya-tanya 'ada apa' atau 'apa yang membuat pria tua itu berteriak di malam akhir pekan ini?'. Lantas, sibuk dengan acaranya sendiri-sendiri. Sesosok pemuda bergaya punk yang mencopetnya tempo detik pun tak lagi terlihat; tergantikan oleh orang lain yang berlalu-lalang.

Di lain tempat Sakha terkikik puas.

Ia memasukkan dompet itu ke dalam kantong yang dia sembunyikan di balik jaket yang membungkus tubuh atletisnya. Rombongan yang Sakha ikuti tiba-tiba berhenti, ternyata pria yang sedang dikawal hendak mengikat tali sepatunya. Ketika ia berjongkok, sesuatu jatuh dari kantong celananya. Sakha tidak bisa membiarkan kesempatan itu lewat begitu saja.

Ia mencolek bahu pengawal yang berdiri dibelakang pria berambut pirang itu. Tanpa menunggu orang itu menoleh, Sakha dengan sigap menyambar benda yang dia incar. Ah! Pengawal yang satu lagi langsung bereaksi.

Sayangnya, terlambat total. Sakha sudah menghilang dibalik kerumunan ...

DRAFT I - 31/08/2018 (lr.).

Mainly authors:
@INDONESIAN_KARA
dianadali
Air-Salonpas__

#WeAreMansioners.

Nusantara 2060Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang