"Enjoy your food. It's called capellini pomodoro." Lanjutnya lagi
"What is pomodoro?" Tanyanya, terlalu malu sehingga menanyakan hal pertama yang terlintas di benaknya.
"Tomato" jawabnya cepat. "You are so straight. I mean... you tell your purpose directly."
"And you like to change the topic of conversation randomly."
"One of my hobbies," guraunya, sembari membawa mangkuknya dan duduk di ujung meja. "Ngomong-ngomong apa pekerjaanmu?"
"Model," jawab Jennie, mencecap suapan pertama dan nyaris mengerang.
"Pantas saja. Kau cantik, tapi kurang tinggi. 160?" ucapnya seraya terkekeh
"165 ck, baiklah yang jauh lebih tinggi." seraya merotasikan bola matanya ke kiri.
Pria itu terkekeh lagi. "186." akunya.
Mereka kemudian diam, sibuk menikmati makanan masing-masing.
"Apa menurutmu semua ini tidak terlalu kebetulan? " tanya Jack memecah keheningan. "Bertemu di bandara, lalu di sini."
"Kau ingin membicarakan sesuatu tentang takdir? " tanya Jennie, tanpa sadar mendecak-decakkan mulut lalu menjilat saus yang tersisa di bibirnya dengan lidah, sekarat dalam kenikmatan. Masakan pria itu luar biasa! Bahkan saking fokusnya terhadap pasta yang sedang dia makan, dia sampai tidak menyadari bahwa pria tersebut sudah menghentikan suapan dan ganti memandanginya lekat, mengamati setiap gerakan yang dia lakukan.
"Aku ini sangat percaya pada takdir, cinta pandangan pertama, dan semacamnya. Jadi kalau kau tidak mau terperangkap dalam komitmen seperti itu, lebih baik kau berhati-hati dalam memilih topik pembicaraan denganku. Bisa-bisa aku tidak melepaskanmu."
Pria itu meraih gelasnya, menyesap air didalamnya untuk membersihkan kerongkongan, lalu mengarahkan tatapannya lurus-lurus ke arah gadis itu.
"Kalau begitu mulai sekarang aku akan lebih sering menggunakan bahasa Korea setiap kali berbicara denganmu."
Jennie mendongak dan menelan pastanya begitu saja tanpa sempat mengunyahnya sampai lumat "Kenapa? " tanyanya bingung.
"Because i'd like to see you attracted with me."
***
Flat itu tidak memiliki balkon, hanya sebuah jendela kaca selebar tiga meter yang membentang di lantai paling atas sehingga keindahan kota Siena dari ketinggian tampak memanjakan mata.
Jendela itu menjorok keluar, menyisakan tempat yang cukup luas untuk sekedar duduk dan bersantai sambil menikmati pemandangan. Jadi dia melakukannya. Melipat kedua kakinya dan memangkukan dagunya ke atas lutut, menatap gerimis yang sudah menggantikan hujan deras tadi siang.
Jack meminjamkan gaun kepunyaan adik perempuannya yang sering datang berkunjung ke sini setiap liburan. Panjang gaun itu hanya mencapai lututnya, tapi ukurannya cukup pas sehingga dia setuju mengenakannya dan mengganti bajunya yang basah. Pria itu sendiri sedang mandi, menyuruhnya menunggu sebelum diantarkan pulang.
Dia mendesah, melarikan jari-jari nya ke kaca yang dingin, dipenuhi titik-titik air yang meluncur turun, membuatnya berembun.
Siena. Mungkin memiliki mantra sehingga dua orang bersaudara sama-sama jatuh cinta. Pada pandangan pertama. Kemudian mengalami pertemuan-pertemuan tidak terduga yang terlalu kebetulan sehingga tidak bisa dianggap sebagai kebetulan semata.
Dia mengalihkan tatapannya, mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan, tiba-tiba terpaku pada tumpukan buku di sudut, tidak jauh dari tempatnya duduk, terutama pada buku yang tergeletak paling atas. Sebuah novel.
"You found my favorite spot."
Dia menoleh, mendapat Jack yang baru keluar dari kamar dalam balutan kaus abu-abu gelap dan celana jeans, dengan sebuah handuk yang digunakannya untuk mengeringkan rambutnya yang masih basah. Membuat helaiannya yang sudah berantakan tampak semakin berantakan.
Dia buru-buru berdiri dan meraih novel tersebut, merasa begitu penasaran.
"Is this yours? "
"My sister's," jawabnya, melempar handuknya begitu saja ke atas sofa, menyisir rambutnya dengan jari lalu mengambil kunci mobil yang tergantung di dinding. "Kenapa memang? Aku juga sudah membacanya. Tapi tunggu... nama pengarangnya Jennie Kim, 'kan? Apa itu kau? " tanya pria itu, tiba-tiba sadar
Jennie tersenyum tipis, menganggukkan kepalanya pelan.
"Kau bilang kau seorang model."
"Ini hanya pekerjaan sampingan."
"Adikku bilang kau penulis terkenal."
Jennie mengedikkan bahu. "Aku juga model terkenal."
Pria itu mendelik sinis sambil mengeluarkan dengusan tak percaya.
"Kalau kau tidak percaya, datang saja ke Korea dan sebutkan namaku. Semua orang pasti mengenalku. Kalau bukan sebagai model ya sebagai penulis. Atau malah dua-duanya."
"Kau sedang pamer ya?"
Jennie mencebik "Kau saja yang tidak mau percaya," ujarnya malas, berjalan menghampiri pria itu untuk memintanya secepat mungkin mengantarkannya pulang.
Saat itu... dia baru menyadari bahwa mata pria itu berwarna cokelat gelap.
***
"Besok aku akan menjemputmu pukul empat pagi."
Gadis itu menoleh tanpa berpikir dan langsung menyesali keteledorannya. Pria itu menatap ke arahnya, dengan mata yang dinaungi kacamata hitam, dan tubuh yang bersandar ke kemudi. Seksi setengah mati. Membuatnya lupa cara menarik napas. Ditambah dengan sinar matahari yang semakin condong ke barat, bersiap untuk terbenam, membuat pelataran parkir dipenuhi cahaya berwarna jingga kekuningan yang sebagian menyusup melalui kaca depan mobil, tepat menyorot ke tubuh pria itu.
"By the way can I call you Jane?" tanya pria itu tiba-tiba "I think about it on our way here."
"W-why?" ucapnya, balik bertanya. Setengah penasaran ingin melihat apa yang tersembunyi di balik kacamata pria itu. Pria itu tampak tidak terbaca sekarang. Misterius. Penuh rahasia. Terutama caranya menatap.
"Nothing. I'd just like to call you like that."
Pria itu mencondongkan tubuh, membuatnya dengan refleks mundur ke belakang, dengan jantung yang berdetum-detum kencang, terutama saat tangan pria itu terulur ke balik tubuhnya. Tapi kemudian dia mendengar bunyi klik pelan saat pintu mobil terbuka dan tangan pria itu seketika memegangi punggungnya agar dia tidak terjatuh karena kehilangan sandaran.
"Jane. It sounds right. For me. "
Pria itu terlalu dekat.
Terlalu dekat.
***
Tbc
Jangan lupa vote + comment
KAMU SEDANG MEMBACA
Little White Lies - COMPLETED ✔
Fanfic"Someday, we'll run into each other again, i know it. Maybe i'll be older and smarter and just plain better. If that happens, that's when i'll deserve you." - Jennie Kim