"And when her lips met mine, I knew that i could live to be a hundred and visit every country in the world, but nothing would ever compare to that single moment when I first kissed the girl of my dreams and knew that my love would last forever."
-Nicholas Sparks.
.
.Sepanjang perjalanan dari Siena menuju Florence, dengan jahatnya dia berharap akan ada kecelakaan di jalan yang menghambat mereka untuk sampai tepat waktu, atau setidaknya kemacetan mengerikan. Tapi tidak ada yang terjadi sesuai harapannya. Semuanya berjalan lancar, bahkan membeli sarapan pagi di sebuah gerai fast food pun tidak membuat mereka terlambat, walaupun kentang goreng dan hamburger super besar pesanannya terasa seperti karet di lidahnya yang mati rasa. Dan sepertinya dia saja yang merasa begitu karena Jack tampak lahap-lahap saja menghabiskan makan paginya.
Mereka lagi-lagi tidak berbicara satu sama lain kecuali saat Jack menawarkannya membeli sarapan terlebih dahulu dan menanyakan menu yang dia inginkan. Tapi kali ini alasannya berbeda. Suasana di mobil bertegangan tinggi, seolah siapa pun yang membuka mulut akan menyebabkan ledakan yang tak terhindarkan. Dia mungkin tidak tahu bagaimana perasaan Jack padanya, mereka bahkan tidak pernah berbincang tentang sesuatu diantara mereka, tapi pasti sedikitnya pria itu menunjukkan tanda-tanda yang jelas. Setidaknya dengn respons pria itu tentang kepulangannya hari ini.
Jack menurunkan koper dari kursi belakang, menunggu Jennie turun lalu dengan tidak disangka-sangka mengulurkan tangan kirinya yang bebas, menawarkan genggaman. Kali ini terang-terangan, tidak seperti saat pria itu menggandengnya di Ecco La Cucina kemarin, sehingga dia butuh beberapa saat untuk memandangi tangan itu dengan tampang konyol, sebelum menyelipkan empat jarinya dia celah antara telunjuk dan ibu jari pria itu. Dia bahkan belum sepenuhnya sadar saat pria itu dengan santainya mengubah posisi jemari mereka menjadi saling mengait satu sama lain, satu jari untuk satu celah.
"Supaya kau tidak mudah terlepas," ujar pria itu dengan nada enteng seolah itu bukan sesuatu yang spesial.
Mereka berjalan dalam diam dan Jennie berkali-kali menghela napas pelan, berharap itu bisa meredakan detak jantungnya yang menggila, memukul-mukul rongga dadanya dengan intensitas yang membuat nyeri. Gadis itu bahkan mencengkram bagian bawah kardigan yang dikenakannya sebagai lapisan luar di atas gaun merah dengan corak bunga-bunga sepanjang lutut.
"Ah, aku lupa mengembalikan baju adikmu," serunya, tiba-tiba teringat. Cara kerja otaknya di bawah tekanan memang cukup aneh, tapi memaksimalkan kerja memorinya yang sering mengingat hal-hal tidak berguna tapi membuatnya lupa hal-hal yang seharusnya penting.
"Kau bisa mengembalikannya kalau kita bertemu lagi."
Bertemu lagi. Pria itu mengucapkannya dengan nada tidak ingin dibantah, sepenuhnya yakin bahwa besar kemungkinan mereka akan bertemu kembali.
Mereka berhenti di depan pintu keberangkatan, tanda bahwa mereka harus segera berpisah. Pria itu hanya bisa mengantarnya sampai sini, tapi dia merasa sama sekali tidak siap. Belum-belum dia sudah menunjukkan tanda-tanda ingin menumpahkan air mata, padahal dia sudah berjanji pada diri sendiri bahwa dia akan menangis sepuasnya sesampainya di pesawat. Tidak di depan pria itu.
Pria itu menyerahkan kopernya, tapi belum melepaskan genggaman mereka, hanya berdiri di depannya dengan kepala tertunduk agar bisa menatap wajahnya dengan jelas. Tanpa high heels yang biasa dia kenakan, pria itu tampak menjulang di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Little White Lies - COMPLETED ✔
Fanfic"Someday, we'll run into each other again, i know it. Maybe i'll be older and smarter and just plain better. If that happens, that's when i'll deserve you." - Jennie Kim