Candra Mahesatya

100 49 8
                                    

Malam ini, aku kembali mengingat gadis tersebut. Kalau kalian bersama ku sekarang mungkin kalian akan mengejekku, tepat nya tentang sikap ku yang mungkin akan kalian nilai murahan terhadap gadis tersebut. Tapi, kalian harus tau kalau seseorang berbuat sesuatu pasti memiliki alasan dan sama seperti sikap ku yang tetap berusaha mengenalnya. Aku pun memiliki suatu alasan.

"Can, ayo makan dulu, mami udah siapin ayam bakar kesukaan kamu. " Suara mami dengan sekejap memecah lamunan ku.

"Iya, mi. Nanti Candra ke meja makan. "

Di meja makan aku sibuk menikmati masakan mami ku. Sama seperti anak pada umumnya, tentu saja aku sangat menyukai masakan mami ku karena menurutku, masakan mami itu gak akan bisa di gantikan dengan masakan siapa pun. Seperti suatu ungkapan bahwa, beda tangan pasti beda rasa.

Aku dan mami ku sangat dekat bukan karena aku manja tapi karena aku sangat ingin menghargai wanita. Perihal menghargai wanita, menurut ku bukan berarti kau harus selalu memanjakannya. Tapi, menghargai wanita itu dengan kau harus selalu menjaganya, menghormatinya, dan meninggikan derajatnya.

"Can, mami mau tanya boleh kan? " Tanya mami ku seusai membereskan piring dari meja makan.

"Boleh kok mi, tanya aja. "

"Kamu kan tau dengan resikonya dengan apa yang sekarang kamu rasakan, apa kamu siap? "
Mendengarnya, aku tidak kaget. Karena aku selalu menceritakan apa yang aku rasakan pada mami ku.

"Candra tau kok mi. Candra harap mami do'akan yang terbaik buat Candra. " Mami menjawabnya dengan senyuman.

*****

"Pagi anak-anak. "

"Pagi juga pak. " Jawab kami pada Pak Mulya, dia salah satu Guru yang mengajar di kelas ku. Cara mengajarnya sangat kreatif dia tidak segan untuk belajar diluar kelas ataupun menceritakan pengalamannya selama ia masih bersekolah baik itu yang baik ataupun yang kurang baik. Makanya aku sangat suka saat diajar oleh nya dan dalam arti suka bukan berarti aku tidak suka pada Guru lain.

"Sebelum saya memulai pelajaran hari ini, saya akan memberikan sedikit pengumuman, mengingat kalian sudah kelas 12. Bapak berinisiatif untuk mengadakan BIMBEL sepulang sekolah dan saya tidak memungut biaya untuk kegiatan ini jadi saya sangat berharap kalian bisa ikut BIMBEL ini dan yang mau mengikutinya silahkan daftar ke Rembulan ya. "

"iya pak, " jawab kami sekelas.

"Bulan, aku mau ikut BIMBEL, jangan lupa catat nama ku ya. "

"iya, " jawabnya tanpa melihat ke arah ku dan aku tidak peduli. Toh, sekeras-kerasnya batu juga pasti akan rapuh bila terus terkena air.

"Bulan, ke kantin yuk. " Dia terdiam sebentar lantas mengangguk, aku sedikit kaget tapi tak apa setidaknya ada kemajuan.

Sepanjang perjalanan menuju kantin, kami saling diam dan hanya menjatuhkan pandangan pada pemandangan sekolah. Sesampainya dikantin aku langsung memesan 2 nasi goreng dan 2 es teh manis dan sambil menunggu makanan diantarkan, aku mulai mengajukan beberapa pertanyaan.

"Bulan, kamu udah lama tinggal di Jakarta?"

"Iya. "

"Besok kamu ada acara gak? "

"Memangnya kenapa? "

"Eh itu, aku pengen main kerumah kamu, boleh gak? "

"Hah? Ngapain sih main kerumah ku, rumah ku itu gak menarik. "

"Loh, aku itu gak mikirin rumah mu itu menarik apa enggak karena udah jelas yang menarik itu orang yang tinggal di dalam rumah nya."

"Terserah kamu aja lah, aku lapar, mau makan. " Mendengar nya aku tidak bisa menyembunyikan senyuman ku.

Seusai makan aku kembali ke kelas sendiri karena Bulan dipanggil Pak Mulya, urusan BIMBEL katanya.

Sepulang sekolah, aku memutuskan untuk pergi ke makam Papi. Aku rindu sekali dengannya, dengan canda tawanya, dengan segala nasihatnya. Dan bersyukurlah kalian jika masih memiliki orang tua yang lengkap, karena hal itu sangatlah berharga. Di makam, aku senang sekali curhat pada Papi seusai mendo'akannya apa pun yang aku alami sering sekali aku ceritakan termasuk kali ini aku menceritakan dia, Gadis disekolah baru ku.

"Pi, aku sekarang percaya sama kata-kata Papi kalau setiap orang pasti punya cahaya yang menyinarinya dan sekarang Candra punya cahaya pi, cahaya itu selalu bikin Candra seneng walaupun cahaya itu belum bersinar terang. Tapi, seperti kata Papi kalau sejatinya cahaya tetap lah cahaya yang seredup-redupnya dia, pasti ada sesuatu yang bernaung pada nya. Candra kangen Papi." Tak terasa, air mata turun begitu saja dari mata ku saat kenangan bersama Papi seolah terputar begitu saja. Membuat ku tak bisa membendung rasa rindu ku.

"Do'ain Candra ya pi, semoga cahaya itu tetap bersinar. Ada atau tanpa ada nya Candra dalam naungan nya. Candra sayang Papi."

Melihat langit yang kini mulai redup tampak nya aku harus bergegas pulang. Di temani para penumpang yang lain, angkutan umum yang aku tumpangi pun mulai membelah jalan Kota Jakarta.

SEMESTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang