chapter 8

310 34 0
                                    

"Saat resital itu ..."

Aku menoleh pada Sai. Sai sedang melepas syal yang melingkar di lehernya. Kemudian dengan lembut, ia memasangkan syalnya padaku, membuatku terpaku.

"... untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta."

Hempasan angin dari cepatnya laju kereta terasa dekat, menerjang hatiku juga. Jantungku berpacu lebih cepat karenanya. Kedua tangan Sai yang ada di atas bahuku sehabis ia lingkarkan syalnya, membuat diriku bergetar.

"Kita berangkat di pemberhentian selanjutnya."

Sai berdiri sementara aku masih tak bergerak. Hanya mataku yang mengikuti sosoknya. Kenapa jantungku tak mau santai? Ucapan Sai tadi bisa berarti lain.

Kereta selanjutnya sudah tiba. Aku juga ikut berdiri. Dan lagi-lagi, Sai menggeam tanganku lalu menarikku. Hangat, kenapa tangannya terasa hangat?

**

Pameran ini masih ramai. Banyak sekali orang yang datang ke sini. Saat sampai, alunan klasik Piano Sonata No. 14 'Moonlight' milik Beethoven menggema di relung hatiku. Meski samar, namun tetap indah. Sudah lama sekali sejak aku tak aktif lagi di dunia musik klasik.

Aku dan Sai pergi ke tempat pameran lukisan terlebih dahulu. Berbagai macam karya lukis ternama dipertontonkan di sini. Seperti lukisan Mona Lisa oleh Leonardo da Vinci, Death and Life dan The Kiss oleh Gustav Klimt, sampai lukisan pensil 3D oleh Veri Apriyatno. Dan walau sebagian besar semua hanyalah replika.

"Yang mana yang jadi favoritmu?"

"Aku suka ini," ucap Sai sembari menunjuk lukisan yang berada di sebelah kanannya, "Starry Night." lanjut Sai.

"Ya, itu memang indah. Karya Vincent van Gogh." aku berjalan menedekati lukisan indah yang dimaksud Sai.

"Lukisan ini mencerminkan keindahan luar biasa dari budaya kuno dan dituangkan denga gaya modern yang sangat baik." jelas Sai.

Memang benar, bukan hanya Starry Night, karya van Gogh yang lain juga luar biasa hebatnya.

"Kalau kau suka yang mana?" tanya Sai padaku. Aku menatap sekeliling. Mencari lukisan yang ada di benakku.

"Aku suka ... The Lovers karya Rene Magritte. Kau tahu?" mataku masih berusaha mencari-cari lukisan yang kumaksud. Lukisan dua sejoli yang seperti hendak berciuman, namun wajah mereka masing-masing terbalut kain putih.

"Aku melihatnya tadi, kalau tak salah di daerah sana." Sai menunjuk arah dekat pintu masuk, lalu tangannya menarik tanganku menuju arah yang ia tunjuk.

"Itu dia!" seruku sesampainya kita di dekat lukisan dengan warna-warna menenangkan yang mendominasi.

"Cinta itu buta." ujar Sai saat tengah mengamati lukisannya.

"Begitukah?"

"Lukisan ini seperti ingin mengatakan bahwa cinta itu buta." Sai menatapku, kemudian tersenyum.

"Hm ... Menurutku juga, lukisan ini mengatakan bahwa cinta itu bukan masalah fisik, tapi lebih dalam daripada itu. Tanpa sentuhan pun, cinta tetaplah cinta."

"Kau benar." Sai menyutujui.

Dan aku pun sadar bahwa Sai belum melepaskan genggaman tangannya sama sekali.

"Aku jadi penasaran dengan gambar yang kau buat." aku menarik tanganku, melepaskannya dari genggaman Sai.

Jantungku jadi tak karuan, jadi aku memutuskan untuk menarik tanganku. Untuk saat ini, aku tak mau terjebak dalam perasaan semcam itu.

"Gambarku biasa saja. Tapi kalau kau sebegitu penasarannya, aku akan membawanya Senin nanti."

**

this my bodyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang