DI MUSIM PENGHUJAN

21 2 0
                                    

Berminggu-minggu Aneta hanya menetap di kamarnya.
Setiap hari di pagi,siang,sore dan malam.
Orang tuanya selalu menawarinya makanan.
Membawakanya diam-diam dan meletakanya si sisi tempat tidur. Namun makanan itu hanya berkurang tak lebih dari dua sendok. Yang dilakukanya hanya tidur, bangun, mandi, minum, lalu tidur kembali.

Setiap malam ia hanya menunggu, berharap ada pesan masuk dari nomor yang Naka kirimkan padanya.
Namun, nihil. Tak ada pesan atau telpon masuk darinya.

Lalu setelah dua bulan berlalu.
Aneta melangkahkan kakinya keluar rumah.
Menelusuri jalan yang pernah ia lalu bersama lelakinya itu.
Menetap di coffe yang dulu sering mereka datangi berdua.
Memesan makanan yang dulu sering mereka pesan.

Lalu Aneta meninggalkan tempat itu, tanpa sadar air matanya berbulir kembali.
Berjatuhan tanpa diminta.
Lalu dia berhenti dipersimpangan jalan. Diam. Duduk lalu menangis dengan sendu.
Aneta seperti manusia yang tanpa lelah menangis.

Hujan, namun Aneta diam. Dalam pikirnya " Ini lebih baik."
Beberapa pasang mata menatapnya dengan pandangam kesian, namun tak lebih dari itu, mereka hanya menatap lalu berlalu meninggalkanya.

Namun sesaat Aneta ingin berdiri ada lelaki berkaos putih membawa payung biru berdiri di hadapanya, Aneta menatapnya, lelaki itu pun menatapnya.
Lalu sebelum pergi Lelaki itu memberikan payung yang di pegangnya.
Memberikanya pada Aneta. Aneta bingung.

" untuk apa ? Aku sudah terlanjur basah."

Lalu diam. Aneta diam. Lalu lelaki membuka mulutnya dengan wajah yang datar.
 
" kamu terlihat menyedihkan." Lalu lelaki itu melanjutkan langkahnya kembali.

Aneta masih bingung dan membeku di tempatnya. Namun menatap punggung lelaki yang pergi itu sampai tak terlihat oleh matanya.

Lalu Aneta membalik dan melanjutkan jalanya.
Sampai di depan rumahnya, orang tua Aneta menatapnya bingung. Numun demikian tak ada yang bisa di lakukan untuk memeperbaiki hati manusia meskipun ia menjadi ibunya sekalipun.

 Hati hanya akan sembuh jika pemiliknya yang ingin menyembuhkanya. Tak ada yang bisa menyembuhkan selain dirinya.
Selain dirinya.

 ●●●●●●●●●●●●●

Lalu keesokanya, Aneta mengunjungi toko buku di persimpangan jalan dekat SMAnya dahulu.
Aneta lalu beku sejenak. Memandangi manusia-manusia berseragam putih abu itu dengan perasaan iri.

" pasti menyenangkan saat di usianya, saat di masanya." Pikir Aneta dengan perasaan sesak yang berbuih rindu.
Tanpa sadar Aneta tersenyum memandangi anak-anak putih abu itu berlalu lalang dengan tawa lepas bersama temanya. Lalu Aneta melanjutkan langkahnya.

Setelah beberapa menit memilih buku tulis untuk dijadikan buku harianya, Aneta segera berjalan mendatangi kasir untuk membayarnya, namun saat dua langkah sebelum Aneta memberikan buku untuk di bayarnya, Lagi-lagi tubuh Aneta beku. Memandang seseorang lelaki yang ia temuinya kemarin saat hujan.

Mereka bertukar tatap, saling membeku. Lalu Aneta memberanikan diri untuk memulainya.

" Hmm Maaf, aku tidak membawa payung mu."

" aku kira kamu tidak akan mengingat wajah ku."

" Hmm maaf tapi makasih untuk payungnya" Aneta diam, bingung dengan apa yang harus di sampaikanya lagi. Lalu untuk sekedar membalas kebaikanya akhirnya ada hal yang di pikirkan Aneta, lalu Aneta melanjutkan ucapnya
" Hmm maaf, aku ga suka berhutang budi sama orang yang baru aku kenal, jadi hmmm maaf biar aku saja yang bayar buku kamu."

" Tapi maaf uang aku lebih banyak dari kamu, jadi biar aku membayarnya sendiri." Lalu lelaki itu memberikan semua bukunya kepada kasir di depanya.

Aneta diam. Kikuk. Kesal. Memandang badan lelaki itu sambil mengantri di belakangnya. Lalu dalam pikirnya "Menyebalkan".

Lalu setelah lelaki itu selesai membayarnya, Aneta menyerahkan buku dan pulpen yang harus ia bayar juga. Namun lelaki itu tidak pergi. Masih berdiam diri. Lalu saat Aneta sudah selesai membayar bukunya dan hendak keluar lelaki itu berucap.

" Sebagai gantinya, kamu mau menjadi teman ku ?"

Lalu Aneta diam memandangnya. Sebenarnya Aneta enggan untuk menjadi temanya, namun tak ada yang bisa ia lakukan selain meng"iya"kan pertanyaanya.

"Aneta Putri" sambil menyodorkan tangan kananya.

" Arbi Laksamana" lalu menyambut tanganya Aneta.
Lalu lelaki itu tersenyum untuk pertama kalinya.
Aneta kaget, dalam hatinya" tau juga ternyata caranya tersenyum."
Lalu mereka bertukar senyum, bertukar tatap dan beradu pikir.

"Kalau begitu aku duluan Ar."

Lelaki itu menganggukan kepalanya. Lalu sesaat sebelum Aneta benar-benar berjalan meninggalkanya. Lelaki itu memanggilnya kembali.

" Hmmm Aneta."

" Iya."

"pastikan membawa pagung kemanapun kamu pergi mulai sekarang."

" Kenapa?"

" Hmmm Karena ini sudah di musim penghujan lagi."

" Tenang saja, Aku suka Hujan. Aku mampu bertahan meski sederas apapun hujan saat itu."

" Karena itu."

" Karena itu?"

" Karena itu aku yang tidak tenang."

Aneta diam. Arbi menatapnya. Aneta tersenyum bingung lalu pergi meninggalkanya.

Ini sudah di musim penghujan, tapi hari itu langit sedang biru-birunya. Hari itu pertemuan kedua untuk mereka berdua.

●●●●●●●

Di perjalan menuju rumah, Aneta diam-diam memikirkan pertanyaan lelaki itu, pertanyaan tentang memulai pertemanan.

"Mau menjadi teman ku? "
Adalah istilah lain dari tawaran untuk membagi dunianya.

Lain halnya, dengan pertanyaan.
"Boleh menjadi teman mu? "
Menurut ku itu istilah lain dari permintaanya untuk membagi dunia ku.

Mungkin pertanyaan seperti itu untuk sebagian orang adalah hal sepele yang tak berarti.
Namun untuk seorang Aneta, pertanyaan seperti itu adalah dua hal yang berbeda.

Karena kebanyakan Lelaki biasanya memulai dengan pertanyaan " Boleh menjadi teman mu?"
Atau hal lainya yang mirip seperti itu " gapapa, cuman mau jadi teman kamu aja."

Tapi hari itu, seseorang yang bernama Arbi Laksamana memberikan pertanyaan manis yang jarang di ajukan kebanyakan lelaki lainya.
Dan Hari itu, Lelaki bernama Arbi Laksanama. Menawarkan dunianya untuk ku.

RANTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang