1. Terlanjur

12.7K 1.4K 22
                                    

You're gonna grow and have a good life
I'm gonna do what I've got to do

(Rockabye - Clean Bandit)

****

Sandria's

This is how my life works for almost a year; bangun di pagi buta, bikin makanan untuk Esa--putraku yang belum genap berusia 2 tahun, siap-siap berangkat ke kantor, mandiin Esa--yang masih setengah mengantuk, menitipkan Esa ke rumah Bude Hanum, kemudian berangkat ke kantor. Setelah berjibaku dengan kepadatan manusia ibukota di jalan, di kantor pun aku masih harus pontang-panting dan tahan banting terhadap omelan-omelan bos. Setelah  itu, aku masih harus menjemput Esa sebelum kembali ke apartemen sederhana kami. Belum lagi kalau Esa rewel tengah malam.

Aku bekerja sebagai resepsionis di perusahaan ritel. Bosku lumayan tempramen, seorang lelaki berusia 40-an dan masih melajang. Kalau bukan karena tawaran gajinya yang lumayan dibandingkan kantor lain, aku pasti sudah mengundurkan diri sejak bulan pertama aku bekerja. Apa daya, ijazah terakhir yang kupunya hanya ijazah SMA. Tak banyak pilihan pekerjaan yang kupunya. Selain pengalaman bekerja menjadi seorang pramugari penerbangan domestik selama 6 tahun, bakat yang kupunya hanyalah menyanyi, dan itu tak mampu mencukupi kebutuhan Esa yang semakin hari semakin bertambah. Seorang diri aku harus membiayai dan mengasuh Esa. Beruntung aku masih memiliki tabungan untuk membiayai kebutuhan dadakan kami.

Semua ini karena Barry. Kalau saja dia.... Ah, sudahlah. Aku nggak mau mengingat-ingat soal Barry lagi. Susah payah aku bertahan selama setahun belakangan ini tanpa dia, bersama Esa. Entah apa yang harus kukatakan kepada Esa kelak ia bertanya di mana ayahnya berada.

Tesario Danawisastro-ku tersayang. Jangan khawatir. Masih ada Ibu yang akan berjuang sampai akhir hayat untuk kamu. Kamu tetap akan menjadi kebanggan Ibu. Ibu berjanji akan memberikan pendidikan terbaik untukmu. Kamu harus tumbuh menjadi anak yang terpelajar seperti ayahmu. Jangan seperti ibumu, yang selalu jadi bahan ejekan keluarga ayahmu.

Aku kembali memasukkan beberapa setel pakaian dan popok Esa ke dalam tas  dan merapikan segala keperluan Esa. Esa tertidur kembali setelah dimandikan. Aku melirik jam tanganku, sudah pukul tujuh lewat lima belas menit. Bisa dipastikan hari ini akau akan mendapatkan omelan lagi dari Pak Untung--bosku. Bisa jadi kali ini surat teguran dari HRD yang datang. Entahlah. Sudah terlalu sering aku datang terlambat, tapi surat teguran itu tak kunjung kuterima. Mungkin karena Bu Sumi, kepala HRD kantorku juga seorang single parent. Beliau mengerti bagaimana kerepotanku sebelum berangkat ke kantor.

Esa merengek saat aku meninggalkan di rumah Bude Hanum. Bude Hanum kakak tertua ayahku, satu-satunya keluarga yang kupunya di Jakarta. Hanya Bude Hanum yang tahu betul bagaimana kehidupanku selama satu tahun belakangan. Sementara sepengetahuan kedua orang tuaku di Surabaya, hubunganku dan Barry baik-baik saja. Dengan berbagai alasan, dan memohon bantuan dari Bude Hanum, aku selalu berkelit setiap ditanya kapan berkunjung ke rumah Ibu dan Bapak.

Aku belum siap menjelaskan biduk rumah tanggaku kepada Ibu dan Bapak. Apalagi di usia pernikahan yang belum genap tiga tahun, aku terancam menjanda. Kalau saja Barry tak terlalu sibuk dan mau menyewa pengacara untuk mengurus perceraian kami, mungkin aku tak akan mengenakan cincin kawin di jari manisku lagi.

Bodohnya aku, masih menyayangi lelaki yang jelas-jelas menelantarkan istri dan anaknya.

Meet him, Baruna Danawisastro, lelaki yang kutemui empat tahun silam dalam perjalanan tugasku ke Bali. Usia kami terpaut 3 tahun. Barry adalah pelanggan setia maskapai tempatku bekerja. Hampir setiap dua minggu sekali ia terbang ke Bali, dan hampir setiap dua minggu itu pula kami bertemu. Yang kutahu, Barry adalah penggila sinematografi saat itu. Ia ingin sekali  menjadi sutradara seperti Riri Riza, meskipun latar belakang pendidikannya adalah Sarjana Ekonomi.

Last Flight to BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang