6. Harder

8.3K 1.3K 85
                                    

Setiap manusia pasti memiliki cerita yang hanya ia simpan sendiri. Tak pernah ia ceritakan kepada siapapun, sekalipun kepada orang yang paling dekat dengan diri kita. Cerita paling rahasia versiku adalah, yang tak pernah kuceritakan kepada Barry sekalipun, ketika sebelum kami menikah, Jonathan, mantan terakhirku, datang menemuiku dan memintaku untuk meninggalkan Barry.

Jo jelas mendapatkan penolakan telak dariku. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Barry? Saat itu, bagiku tak ada lelaki lain yang lebih baik dari Barry setelah Bapak. Beraninya Jonathan--pilot maskapai lain--yang telah berselingkuh dengan teman sesama pramugariku itu memintaku kembali di saat aku akan menikah dengan Barry? Entah bagaimana caranya ia mengetahui bahwa keluarga Barry tidak bisa menerimaku.

"Kamu cuma akan jadi sampah di keluarga Barry, Sandria. Keluargaku akan menerima kamu apa adanya karena aku nggak berasal dari keluarga serba wah seperti senimanmu itu. Kerja jadi seniman saja bisa bergelimpangan duit. Apalagi kalau bukan sumbangan dari keluarganya?"

Aku tak terima kala Jo menjelek-jelekkan Barry. Apalagi informasi yang ia dapatkan tak benar. Barry memang menggemari sinematografi, tetapi pekerjaan utamanya adalah banker. Dan tak sepeser pun ia menerima uang dari keluarganya.

Jadi, aku memukul Jo tepat di wajahnya sebelum meninggalkan lelaki itu.

Aku tak akan membiarkan siapapun menghina Barry. Tanda bahwa aku benar-benar tergila-gila pada lelaki itu. Sampai sekarang pun begitu.

Bukti lainnya, hal yang tak kuceritakan kepada Barry, aku tak bisa tidur tanpa Barry di sampingku. Oleh karena itu, sejak hamil Esa, ketika Barry harus pergi ke luar kota tanpaku, aku akan tidur sambil memeluk kemeja Barry. Sampai sekarang, hal ini masih terus kulakukan. Kurasa, aku benar-benar kecanduan.

Melihat Barry menggendong Esa membuat jantungku berdebar sendiri. Pagi ini ia datang ke apartemen untuk mengantarku ke kantor. Sementara menungguku selesai siap-siap, ia yang mengurus Esa. Kami sepakat untuk mulai membiasakan diri kembali bersama sebelum Ibu dan Bapak datang. Kami ingin hubungan kami terlihat natural. Jangan sampai Ibu dan Bapak menyadari ada sesuatu di antara kami.

Pagi-pagi sekali, Barry datang ke apartemen dengan pakaian formalnya. Siap bekerja sementara aku masih membuat sarapan. Semalam Barry memang sudah mengabarkan kedatangannya.

"Biar Esa ikut denganku, Dri. Kasihan Bude Hanum butuh istirahat."

Barry masuk tiba-tiba saat aku sedang menata rambutku sambil bercermin. Ia dan Esa baru saja selesai sarapan. Wajah Esa belepotan sisa makanan. Begitu pula kemeja Barry yang tak terselamatkan.

"Kamu kan sibuk kerja, Barry. Aku nggak mau Esa ditelantarkan di sana."

"Tentu nggak. Aku akan jaga Esa baik-baik. Ada Nana yang bisa membantu, dia cukup andal. Kamu jangan khawatir." Barry berusaha meyakinku bahwa Esa akan aman bersamanya.

"Aku nggak mau Esa ganggu kamu kerja. Perusahaan itu sangat penting buat kamu," kataku tanpa sadar bahwa perkataanku barusan menyindir Barry. "Maaf, aku cuma kamu merasa tergaggu."

"Sama sekali enggak."

Kemudian, masih sambil menggendong Esa, Barry berjalan menghampiriku. Ia menatapku lekat, kemudian mengusap sudut bibirku lembut.

"Sayang, lipstick kamu agak belepotan."

Aku terperangah kala Barry memanggilku dengan panggilan kesayangannya. Sudah lama sekali aku tak mendengar kata itu dari mulut Barry. Sungguh, aku rindu dengan Barry. Setelah mengusap bibirku, Barry mengusap kepalaku pelan.

"Ayo, nanti kamu terlambat dan dimarahi bosmu." Sejurus kemudian Barry meninggalkanku bersama perasaanku yang meleleh setelah tindakannya barusan.

Barry melakukan semua itu seakan ia tak tahu betapa sulitnya bagiku berusaha membenci lelaki itu. Seakan kesalahannya selama ini tak sebanding dengan rasa rinduku.

Last Flight to BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang