5. Ego

7.5K 1.2K 38
                                    

Keinginan kerasku menjadi pramugari dulu awalnya ditentang oleh Bapak dan Ibu. Bapak yang merupakan seorang tentara dan Ibu yang merupakan seorang guru lebih menginginkan putri semata wayang mereka mengikuti jejak keduanya menjadi abdi negara. Sayang, entah dari mana sifat membangkang ini kudapatkan.

Aku jelas bukan putri yang penurut. Sejak kecil aku sering diomeli Bapak karena bermain kelereng sampai lepas maghrib bersama bocah laki-laki. Belum lagi Ibu yang hanya bisa geleng kepala setiap kali mendapatiku mencuri mangga di rumah Pak RT bersama dua teman masa kecilku, Andin dan Daniar. Kami bertiga sama-sama tak bisa diatur. Tak terhitung berapa kali Ibu pergi meminta maaf ke rumah Pak RT. Sampai akhirnya, Bapak memberikanku hobi baru: bercocok tanam. Tetapi, tentu saja, hobi itu tak bertahan lama.

Memasuki masa Sekolah Menengah Pertama, tahun pertama aku terpaksa bertamu ke ruang konseling akibat melabrak senior yang menghina temanku. Kemudian, Bapak benar-benar memberikanku hukuman setimpal akibat tindakan anarkiku tersebut. Kucing peliharaanku yang sudah 2 tahun belakangan kupelihara sepenuh hati itu disumbangkan oleh Bapak kepada putri temannya tanpa sepengetahuanku.

Aku sempat marah kepada Bapak, tetapi sadar kalau aku tak bisa bersikukuh dengan kemarahanku terlalu lama. Sejak saat itu aku benar-benar mencoba menjadi perempuan sebagaimana mestinya menurut Bapak dan Ibu. Anggun dan ramah. Apalagi, setelah itu aku mulai mengalami masa puber, yakni mulai tertarik dengan lawan jenis. Perubahanku tersebut tentu membuat Bapak dan Ibu senang. Sampai aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikanku ke perguruan tinggi dan malah memilih menjadi pramugari.

"Pekerjaan itu bikin kamu jauh dari keluarga. Enak cari kerja di sini," begitu pesan Ibu. Sementara Bapak dengan gamblang menolak keinginanku. "Tidak boleh. Bapak masih sanggup biayai kamu kuliah."

Tetapi, bukan Sandria namanya kalau tidak memberontak. Diam-diam aku hadir dalam walk-in-interview sebuah maskapai domestik dan mendapatkan pengalaman bekerjaku di sana.

Bapak jelas marah besar ketika tahu bahwa aku akan ditempatkan di Bali sebagai "markas" tetapku. Ibu justru mogok mogok bicara denganku. Namun sekecewa apapun kedua orang tuaku, hari di mana aku harus pergi ke Bali, mereka tetap mengantarku, mendoakanku, serta berpesan agar aku sering pulang ke rumah.

Setelah menikah dengan Barry, aku sadar bahwa kami memiliki kepribadian yang sungguh berbeda. Barry adalah anak yang sangat penurut. Aku lah satu-satunya bentuk pemberontakan yang pernah Barry lakukan kepada keluarganya. Oleh karena itu, selama mengandung Esa, aku berharap semoga Esa tidak mewarisi sifat pemberontakku dan hal itu terwujud karena Tesarioku hampir seperti duplikasi Barry secara keseluruhan.

Demi menikah dengan Barry, sebagai satu-satunya syarat yang diajukan oleh keluarganya, aku berhenti dari pekerjaanku. Pekerjaan yang sedang giat-giatnya kugeluti dan kunikmati. Entah apa alasannya, Papa--ayah Barry--tak ingin memiliki menantu seorang pramugari.

Aku berhenti mengenang masa laluku kala Bude Hanum menyentuh pundakku pelan.

"Kamu istirahat saja. Esa sedang main dengan Andra. Lagipula, sudah ada Hani juga yang menjaga mereka."

Aku tersenyum seraya mengangguk. Jam telah menunjukkan pukul delapan malam. Tak biasanya Esa mengamuk saat diajak pulang dan merengek selama satu jam sampai aku kewalahan sendiri menenangkannya. Terpaksa aku membiarkan Esa bermain lebih lama sampai bocah itu mengantuk. Nanti kalau sudah tertidur baru kubawa pulang. Oleh sebab itu, aku masih tertahan di ruang keluarga rumah Bude Hanum sambil melamun. Memutuskan akan bercerita mengenai kemunculan Barry kepada Bude.

"Kenapa? Lagi ada masalah di kantor?" Seakan dapat membaca pikiranku, Bude Hanum duduk di sampingku. Kurasakan suara volume televisi yang kuanggurkan sejak tadi berangsur hilang.

Last Flight to BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang