4. Kerja Sama

7K 1.2K 31
                                    

Aku tahu, membiarkan Barry masuk ke apartemenku adalah keasalahan  besar. Sejak kaki Barry melangkah masuk, sulit sekali untuk mengusirnya  keluar. Esa begitu senang bermain mobil-mobilan dan kuda-kudaan dengan  Barry. Begitupula sebaliknya, Barry begitu bahagia bisa bertemu Esa  kembali. Di sela-sela kesibukan mereka bermain, aku menyelinap ke dapur  untuk membuat makan siang. Ketika Esa tertidur karena kelelahan bermain,  Barry menyusulku ke dapur. Otomatis suasana menjadi canggung dan aku  tak bisa fokus memasak.

"Kamu sudah pintar memasak, Dri?"

Bukan terdengar mengejek, suara Barry lebih terdengar khawatir  sekaligus takjub. Memang sebelum menikah dengan Barry, kehidupan hampir  tak pernah menyentuh dapur. Baru setelah menikah dengan Barry, belajar  dari Bude Hanum, sedikit demi sedikit aku belajar memasak. Mengenal  berbagai bumbu dapur, teknik memasak palng sederhana, sampai sekarang  aku bisa membuat seloyang kue. Belakangan dapur menjadi tempat  pelampiasanku saat aku teringat akan Barry.

Karena Barry lah aku belajar memasak. Dan, Barry paling suka telur dadar buatanku.

"Ya... lumayan."

Tubuh Barry berpindah ke sebelahku. pada tahap ini aku merasa napasku  mulai tak beraturan. Segala pikiran berkelebat di kepalaku: pertemuan  pertama kami, bulan madu di Sumbawa, kepergian Barry, sampai  perjuanganku membesarkan Esa sendiri.

Setahun bukan waktu yang sebentar bagi seseorang menjalani hidup penuh duka.

Barry berdiri tepat di sampingku. Tangan kami sejajar. Mataku terpaku  pada jari manisku sendiri, pada cincin pernikahan kami yang masih  kukenakan. Seketika aku menarik tanganku. Menutupi cincin tersebut  dengan telapak tanganku yang lain. Mendadak aku gelisah sendiri.

"Kenapa ditutupi?"

Aku tak sadar kalau Barry sedari tadi memperhatikanku. Segala  gerak-gerikku, ia tahu. Pikiranku layaknya buku yang terbuka bagi Barry,  mudah terbaca. Aku menatap Barry, sejenak hanya itu yang bisa  kulakukan. Mengetahui diam-diam aku merindukan lelaki ini, aku merasa  mengecewakan diriku sendiri.

Aku menunduk, tersenyum seraya menggeleng. Baiklah. Mungkin ini adalah momen yang tepat untuk bertukar kabar.

"Kamu sibuk apa sekarang?" tanyaku seraya melanjutkan kegiatanku mengaduk-aduk sup di panci.

"Masih bekerja di perusahaan Papa. Sejak kapan kamu kerja di kantor itu?"

"Dua bulan setelah aku pergi dari rumah."

Aku  sadar bahwa jawabanku membuat Barry merasa segan untuk kembali  berbicara. Biar saja. Kalau perlu, biar dia cepat pergi dari sini. Barry  mengalihkan pandangannya dariku.

"Sejujurnya aku sempat berpikir kamu nggak akan sembunyi di sini. Kamu pasti sangat marah dan pergi jauh dari kota ini. Kupikir kamu pergi ke Bali, karena kamu ingin sekali tinggal di sana."

"I was, Bar. Sekarang nggak lagi. Di Bali terlalu banyak.... kenangan."

"Ya, dan aku nggak keberatan mengulang itu semua."

"Aku yang keberatan, Bar," kataku seraya mendesah.

"Aku tahu alasannya."

Kami saling memandang, mataku menyorot bola mata Barry, pun sebaliknya. Hal yang selalu kami lakukan kala mencoba melawan ego masing-masing, mengingat kembali alasan kenapa kami bersama.

I still see "it" there, tapi aku nggak menemukan alasan untuk kembali. Dan sepertinya Barry tahu usahanya kali ini belum berhasil.

"Barry, kayaknya aku nggak bisa melihat kamu lebih lama lagi. Bersediakah kamu meninggalkan aku dan Esa sekarang?"

Last Flight to BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang