Aku tahu, membiarkan Barry masuk ke apartemenku adalah keasalahan besar. Sejak kaki Barry melangkah masuk, sulit sekali untuk mengusirnya keluar. Esa begitu senang bermain mobil-mobilan dan kuda-kudaan dengan Barry. Begitupula sebaliknya, Barry begitu bahagia bisa bertemu Esa kembali. Di sela-sela kesibukan mereka bermain, aku menyelinap ke dapur untuk membuat makan siang. Ketika Esa tertidur karena kelelahan bermain, Barry menyusulku ke dapur. Otomatis suasana menjadi canggung dan aku tak bisa fokus memasak.
"Kamu sudah pintar memasak, Dri?"
Bukan terdengar mengejek, suara Barry lebih terdengar khawatir sekaligus takjub. Memang sebelum menikah dengan Barry, kehidupan hampir tak pernah menyentuh dapur. Baru setelah menikah dengan Barry, belajar dari Bude Hanum, sedikit demi sedikit aku belajar memasak. Mengenal berbagai bumbu dapur, teknik memasak palng sederhana, sampai sekarang aku bisa membuat seloyang kue. Belakangan dapur menjadi tempat pelampiasanku saat aku teringat akan Barry.
Karena Barry lah aku belajar memasak. Dan, Barry paling suka telur dadar buatanku.
"Ya... lumayan."
Tubuh Barry berpindah ke sebelahku. pada tahap ini aku merasa napasku mulai tak beraturan. Segala pikiran berkelebat di kepalaku: pertemuan pertama kami, bulan madu di Sumbawa, kepergian Barry, sampai perjuanganku membesarkan Esa sendiri.
Setahun bukan waktu yang sebentar bagi seseorang menjalani hidup penuh duka.
Barry berdiri tepat di sampingku. Tangan kami sejajar. Mataku terpaku pada jari manisku sendiri, pada cincin pernikahan kami yang masih kukenakan. Seketika aku menarik tanganku. Menutupi cincin tersebut dengan telapak tanganku yang lain. Mendadak aku gelisah sendiri.
"Kenapa ditutupi?"
Aku tak sadar kalau Barry sedari tadi memperhatikanku. Segala gerak-gerikku, ia tahu. Pikiranku layaknya buku yang terbuka bagi Barry, mudah terbaca. Aku menatap Barry, sejenak hanya itu yang bisa kulakukan. Mengetahui diam-diam aku merindukan lelaki ini, aku merasa mengecewakan diriku sendiri.
Aku menunduk, tersenyum seraya menggeleng. Baiklah. Mungkin ini adalah momen yang tepat untuk bertukar kabar.
"Kamu sibuk apa sekarang?" tanyaku seraya melanjutkan kegiatanku mengaduk-aduk sup di panci.
"Masih bekerja di perusahaan Papa. Sejak kapan kamu kerja di kantor itu?"
"Dua bulan setelah aku pergi dari rumah."
Aku sadar bahwa jawabanku membuat Barry merasa segan untuk kembali berbicara. Biar saja. Kalau perlu, biar dia cepat pergi dari sini. Barry mengalihkan pandangannya dariku.
"Sejujurnya aku sempat berpikir kamu nggak akan sembunyi di sini. Kamu pasti sangat marah dan pergi jauh dari kota ini. Kupikir kamu pergi ke Bali, karena kamu ingin sekali tinggal di sana."
"I was, Bar. Sekarang nggak lagi. Di Bali terlalu banyak.... kenangan."
"Ya, dan aku nggak keberatan mengulang itu semua."
"Aku yang keberatan, Bar," kataku seraya mendesah.
"Aku tahu alasannya."
Kami saling memandang, mataku menyorot bola mata Barry, pun sebaliknya. Hal yang selalu kami lakukan kala mencoba melawan ego masing-masing, mengingat kembali alasan kenapa kami bersama.
I still see "it" there, tapi aku nggak menemukan alasan untuk kembali. Dan sepertinya Barry tahu usahanya kali ini belum berhasil.
"Barry, kayaknya aku nggak bisa melihat kamu lebih lama lagi. Bersediakah kamu meninggalkan aku dan Esa sekarang?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Flight to Bali
Roman d'amourDemi menikah dengan Barry, Sandria rela melepas pekerjaannya sebagai pramugari. Bersama Barry, Sandria bermimpi membangun rumah di tepi pantai dan hidup dengan damai, lepas dari hiruk-pikuk ibukota bersama keluarga kecil mereka. Pernikahan yang ber...