Tebak apa yang terjadi setelah aku memberikan coklat kepada Barry? Pada pertemuan kesepuluh, Aku dan Barry bertemu di lobi hotel. Kebetulan yang menyenangkan, kami menginap di hotel yang sama. Kami berpapasan saat aku hendak keluar mencari makan malam. Aku hanya mengenakan kaus santai, celana pendek, dan sandal jepit sementara Barry tampak rapi dengan kemeja putih, celana jeans, dan sepatu kets putih bertali. Tipikal lelali yang akan menarik perhatian perempuan di sekitarnya hanya dalam sekali lirik.
"Mbak Boneka?"
Aku yang hendak memesan taksi online otomatis menengadahkan kepala. Suara maskulin tersebut terdengar di dekatku. Ketika kudapati Barry sedang mangamatiku, aku tersenyum sambil menahan rasa terkejut dan senangku.
"Sandria, namaku Arasandria." Aku mengulurkan tanganku kepada Barry dan ia menyambutnya dengan hangat.
"Baruna. Atau Barry. Terserah."
Aku mengangguk, melihat Barry sepertinya telah memiliki janji dengan orang lain. Terlihat dari tumpukan notifikasi di layarnya yang menginterupsi pertemuanku dengan Barry.
"Mau ke mana?" tanya Barry mengabaikan denting-denting pesan singkat di ponselnya.
"Cari makan. Kamu?"
"Sama. Bareng, yuk."
Aku mengerjap dua kali sebelum bisa memahami maksud Barry. "Kamu ngajak aku makan malam bareng?"
Barry mengangguk. "Kenapa? Sudah ada janji?"
Aku buru-buru menggeleng. Bagaimana Barry menyimpulkan bahwa aku memiliki janji temu dengan pakaian seperti ini?
"Enggak. Aku sendirian."
"Makan sama saya?" Barry mengulangi tawarannya.
Aku pun menyetujui tawaran. Kami pergi dengan mobil Barry yang terparkir tak jauh dari pintu masuk hotel. Sepanjang perjalanan Barry tak banyak bicara, padahal perjalanan yang kami tempuh lumayan jauh. Hanya bertanya apa aku sering mengínap di hotel tersebut, makanan apa yang kuinginkan malam ini, dan terakhir, sebelum turun dari mobil, Barry sempat bertanya apakah aku memiliki kekasih.
"Memangnya kenapa?" aku bertanya saat Barry menarik tuas rem tangan.
"Saya mau kasih kamu tawaran."
"Tawaran apa?" saat aku balas bertanya, Barry hanya tersenyum. dua puluh detik berikutnya lelaki itu sudah membukakan pintu untukku.
Malam itu aku tahu kalau Barry sangat tertarik dengan dunia fotografi dan sinematografi. Tanpa basa-basi pula Barry menawarkanku untuk menjadi pemeran dalam proyek film yang akan ia buat. Hal yang membingungkan. Aku tak menemukan korelasi antara tawaran tersebut dengan pertanyaan Barry mengenai statusku.
"Hubungannya menjadi pemeran dalam film kamu dan statusku apa?" tanyaku di sela-sela acara makan kami.
Bermodalkan pencahayaan seadanya, aku dapat melihat Barry sekilas menyunggingkan senyum.
"Nggak ada,"jawab Barry yang membuatku sibuk menerka-nerka maksudnya.
Jawaban Barry tak jarang membuatku penasaran setengah mati kepada lelaki itu. Entah mungkin ia berniat membuatku tak bisa tidur semalaman. Aku pun tak bisa melakukan konfrontasi lebih jauh--meskipun sebenarnya ingin--karena ini kali pertama kami mengobrol santai bukan sebagai pramugari dan penumpang maskapai.
Äku mengigit bibirku penasaran. "Jadi?" tanyaku sekali lagi. Tanganku menyelipkan rambut yang jatuh menutupi wajahku ke belakang telinga sambil tertunduk malu.
Usahaku barusan untuk menarik perhatian Barry tampaknya berhasil karena kini ia sedang memandangiku dengan terang-terangan meskipun hanya beberapa detik.
![](https://img.wattpad.com/cover/160665399-288-k951875.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Flight to Bali
RomanceDemi menikah dengan Barry, Sandria rela melepas pekerjaannya sebagai pramugari. Bersama Barry, Sandria bermimpi membangun rumah di tepi pantai dan hidup dengan damai, lepas dari hiruk-pikuk ibukota bersama keluarga kecil mereka. Pernikahan yang ber...