"It must have been love, before we ruined it.It must have been 'Us', before we walked away
It must have been love, before you left me
It must have been love, but it's over now"
****
Aku sedang membantu seorang penumpang lansia memasukan barang ke bagas kabin saat pertama kali melihat Barry. Sejak awal Barry masuk ke kabin pesawat, aku memang sudah memperhatkannya. Penampilannya menarik, wajahnya juga manis. Kebetulan, ia duduk di sebelah penumpang yang sedang kubantu.
Aku sempat salah tingkah waktu Barry memperhatikanku. Sekilas ia mendapatiku balas memperhatikannya, sampai-sampai aku tak terlalu sigap saat ada penumpang yang lewat di belakangku dan tubuhku tak sengaja terdorong karena tersenggol tas ransel bawaan penumpang tersebut. Akibatnya, aku menjatuhkan salah satu tas jinjing penumpang yang untungnya hanya berisi boneka. Tas itu jatuh tepat ke pangkuan Barry. Buru-buru aku meminta maaf.
"Maaf, Pak."
Aku menunduk dan Barry mengulurkan tas jinjng tersebut kepadaku. "Nggak apa-apa."
Dia tersenyum kepadaku, sepertinya dalam hati menertawakan kegugupanku.
Aku mengangguk. Dengan sigap, menaruh kembali tas jinjing tersebut ke bagasi kabin. Setelah itu, demi menutupi rasa maluku--aku tahu Barry masih memperhatikanku setelahnya, aku beralih kepada penumpang lain yang sekiranya membutuhkan bantuan.
Kemudian sepanjang perjalanan dari Jakarta menuju Bali yang memakan waktu hampir dua jam, sebisa mungkin aku mengurangi penampakan diriku di depan Barry. Tetapi hal yang kulakukan itu akhirnya percuma saja. Karena ternyata hampir setiap dua minggu sekali Barry menjadi penumpang maskapaiku. Tepat pada penerbangan di mana aku ditugaskan.
Berminggu-minggu berlalu, sampai pada pertemuan ketujuh. Insiden terjadi lagi. Kali ini akibat kesalahanku, lagi. Barry baru saja keluar dari toilet dan kami berpapasan, saling lirik, kemudian terpaksa berhenti berjalan karena knitwear putih yang dikenakan Barry tersangkut pada tali rantai jam tanganku.
Aku berinisiatif lebih dulu meminta maaf dan berusaha melepaskan kaitan pakaian Barry pada jam tanganku. Ternyata lebih sulit dari yang kukira. Aku tersenyum merasa bersalah kepada Barry sambil masih berusaha melepaskan kaitan tersebut. Sejurus kemudian, tangan kiri Barry meraih tanganku, membalikannya, dan dengan tangan kanannya melepaskan kaitan tersebut dengan mudah.
OH! Aku baru teringat akan hal ini. Jadi, dua kali. Sebelum kami menikah, Barry hanya pernah menyentuh tanganku dua kali.
Dan selama Barry memegang tanganku, napasku seketika tertahan. Mungkin karena aroma parfum Barry yang membuatku tak bisa fokus atau bisa jadi cara Barry menatapku selama melepaskan kaitan tersebut yang membuat jantungku berdebar tak keruan. Sungguh, pesona Barry memang sekuat itu.
"Nggak perlu minta maaf. Saya yang salah," ujar Barry sementara tanganku masih dipeganginya. "Maaf, ya."
Aku mengangguk pelan. Kemudian, Barry berjalan kembali ke kursinya. Tak lama setelah Barry pergi, seorang bapak-bapak dengan penampilan parlente dari ujung kepala hingga ujung kaki berjalan ke pintu toilet. Sekejap ia mengedipkan matanya kepadaku. Genit. Aku hanya balas tersenyum formal yang justru disalahartikan oleh beliau.
Bapak-bapak tersebut menghampiriku. "Kamu menginap di hotel mana?"
Mataku melebar seketika. Panik sekaligus takut. Kebetulan baru kali ini aku mendapatkan perlakuan tidak pantas dari penumpang seperti ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Flight to Bali
RomanceDemi menikah dengan Barry, Sandria rela melepas pekerjaannya sebagai pramugari. Bersama Barry, Sandria bermimpi membangun rumah di tepi pantai dan hidup dengan damai, lepas dari hiruk-pikuk ibukota bersama keluarga kecil mereka. Pernikahan yang ber...