8. Terasa Benar

6.4K 1.1K 48
                                    

Sandria's

Aku belum terbiasa dengan kahadiran Barry. Entah kenapa rasanya asing. Rasa asing yang menyenangkan.

Menyadari ada seseorang terlelap di sampingku saat membuka mata, mendapati seseorang menawarkan bantuan kepadaku saat memasak di dapur, melihat sosok Barry di sampingku fokus mengemudi demi mengantarku sampai ke kantor tepat waktu, begitupula saat jam pulang kerja, dan yang selalu membuatku canggung--seakan Barry adalah kekasihku, bukan suamiku--kecupan singkat di pipi yang tak pernah absen dilakukan Barry sebelum aku turun dan masuk mobil saat ia mengantar dan menjemputku.

And I can't do anything but hold my breath, cause' I swear there are butterflies in my stomach.

Dan aku tahu Barry tidak bersikap manis kepadaku karena kehadiran Ibu dan Bapak. Dia melakukannya karena dia adalah Barry, yang manis, yang mampu membuatku jatuh cinta berkali-kali.

I only hate him once, but he makes me fall in love thousand times.

Sampai saat ini aku berpikir bahwa mungkin jalan terbaik adalah kembali bersama Barry. Semuanya terasa baik dan amat benar. Hidupku jauh lebih berarti dengan adanya Barry. Dan aku nggak bisa membedakan lagi apakah hal ini karena aku benar-benar mencintai Barry atau aku terlalu terobsesi padanya.

Aku hanya butuh Barry, pun dengan Esa.

"San, kok melamun? Sudah sampai."

Aku mengerjapkan mata. Kini Barry menatapku dengan tatapan teduhnya. Tanpa sadar tanganku mengusap pipi Barry. Ia belum bercukur pagi ini. Bulu-bulu halus di wajahnya yang masih terbentuk rapi mulai tumbuh lebat.

"Kamu lupa cukur tadi pagi?"

Ya, aku tahu. Momen ini seharusnya bisa jadi salah satu momen romantisku dengan Barry. Namun tentu aku nggak mau menjadi bahan omongan pegawai sekantor karena kepergok mengumbar kemesraan di parkiran lobi gedung kantor.

"Lagi suka begini. Kenapa? Kamu nggak suka aku berewokan, ya? Nanti kucukur, deh." Barry meraba janggutnya dan berakhir menggenggam tanganku yang masih berada di wajahnya.

"I miss this moment." Barry mengecup tanganku. "Tapi kamu harus turun sekarang kalau nggak mau kena omel bosmu lagi."

Barry tersenyum. Kali ini mendaratkan kecupan singkat di bibirku, bukan di pipi sebelum turun dan mengitari separuh bagian mobil hanya demi membukakan pintu untukku. Otomatis kami menjadi tontonan gratis para pegawai yang datang. Seorang staff kelas bawah sepertiku bisa bersama seorang berpenampilan eksekutif seperti Barry.

Saat Barry melambaikan tangan kepadaku sebelum pergi, aku balas melambai kepadanya. Otomatis.

Sepertinya.... aku....

"Pagi, Sandria."

Ghani muncul dengan senyum sejuta wattnya yang hampir menimbulkan efek kjut jantung padaku. Hampir. Kalau Barry tak muncul lagi, tentu aku takkan ragu membalas sapaan Ghani dengan senyum yang sama merekahnya.

But, nope.

"Hai, Ghan. Gimana training-nya di Singapur?"

"Good. Kamu...." Ghani memperhatikanku dari atas sampai bawah, "Potong rambut, ya? Looks good on you."

Aku balas tersenyum tipis. "Thanks. Biasa, Jakarta panas... hehehe."

Kami melangkah masuk menuju lift. Berpapasan dengan Pak Untung yang sedang mengantre menunggu lift, kemudian menatapku seakan aku adalah keajaiban dunia saat jarak kami hanya dipisahkan beberapa orang.

Last Flight to BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang