7. Back at One

6.4K 1K 49
                                    

Barry's

Aku tahu pertanyaan ini sudah sering diulang. Do you believe in love at first sight? I do. Cinta pandangan pertamaku adalah Arasandria Dwianjani, pada penerbangan ke Bali, minggu pertama bulan Januari tiga tahun silam. I was going on a movie project at Bali. Never really excited going on a plane until I saw her.

Hari itu cuaca cerah. Sebagai penumpang yang lebih senang menghabiskan perjalanan sambil terlelap ketimbang menikmati pemandangan sekitar, aku sudah bersiap memejamkan mata begitu duduk di kabin pesawat. Penumpang di sampingku seorang lansia dengan aroma salep pijat menusuk. Tapi, kalau bukan karena seorang nenek yang belakangan kuketahui seorang pengusaha sarang burng walet itu, aku takkan berkesempatan mendengar suara Sandria meminta maaf kepadaku.

"Maaf, Pak." Sandria menunduk sopan sambil tersenyum gugup. Aku sempat berpikir kalau ia seorang pramugari baru. Prilaku Sandira tampak kikuk.

"Nggak apa-apa."

Lantas Sandria menempatkan kembali bagasi yang terjatuh ke bagasi kabin. Sebelum menjah dari barisan kursiku, pandangan kami bertemu sekali lagi. Dan kurasa, pada saat itu aku mulai tertarik kepada Sandria. Jantungku berdebar sepanjang perjalanan yang kuyakini bukan karena rasa takutku akan ketinggian.

Kesempatan terakhirku melihat Sandria mondar-mandir di kabin hari itu berakhir dengan diperagakannya prosedur keselamatan penumpang sebelum pesawat take off. What a nice flight. Mata kami bertemu sebelum aku turun dari pesawat. Sambil mengucapkan "Terima kasih sudah terbang bersama kami," dan mengatupkan kedua tangan di depan dada, Sandria tersenyum kepadaku. Kubalas dengan senyuman. Memangnya, apa lagi yang bisa kulakukan?

Kukira hari itu itu akan jadi pertemuan pertama dan terakhir kami, tetapi Tuhan memang punya segala cara mempertemukan sepasang manusia. Seperti halnya, pertemuanku setelah meninggalkan Sandria selama setahun. Maaf. Orang terakhir yang ingin Sandria temui di muka bumi ini tak tahu malunya muncul kembali ke hadapan perempuan itu setiap hari. Sekarang, aku kembali menjadi orang yang dilihatnya pertama kali saat bangun tidur sekaligus orang terakhir yang dilihatnya sebelum terlelap.

Do you still hate me, San?

Wajah Sandria tampak damai di hadapanku. Sudah satu jam aku memandanginya dan rasanya masih belum puas. I still miss her. Wish I could hold her face and tell her how much I love her. Dan betapa aku menyesal meninggalkannya.

I am really sorry, Sandria.

Alarm berbunyi tepat pukul lima pagi. Mata Sandria terbuka, bertemu dengan pandanganku. Biasanya Sandria akan tersenyu dan mendaratkan kecupan singkat di bibirku.

"Morning," begitu sapanya dengan nada serang yang manis.

Pagi ini aku tidak mendengarnya. Sandria secepat kilat bangkit dari tempat tidur dan merapikan sisi kasur miliknya. Meninggalkanku yang masih bergelung di dalam selimut. Memperhatikan Sandria menjepit rambutnya tinggi-tinggi kemudian melangkah menuju kamar mandi, rasa kantukku hilang seketika.

Kutegakkan tubuhku. Setelah beberapa haris menghabiskan waktu di rumah ini, baru kali ini aku memperhatikan detil kamar Sandria. Jejak barang-barangku hampir tak ada. Namun aku cukup terkejut melihat satu kemeja lusuhku tergantung di balik pintu. Keningku mengerut, kemudian aku tak bisa menahan diri untk tidak tersenyum,

She missed me.

Sandria masih belum merubah kebiasaannya, tidur sambil memeluk kemejaku ketika aku sedang tak di rumah.

Terdengar suara keran air dibuka dari kamar mandi disusul alunan musik blues pelan. Kebiasaan Sandria yang lain.

Aku beranjak dari tempatku untuk menyalakan lampu. Sudah waktunya berolahraga. Setidaknya aku harus memberi Sandria sedikit ruang setelah ia terbiasa sendiri.

Last Flight to BaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang