Rintihan kesakitan itu selalu aku sukai.Darah dan air mata.
Aku benci bahagia, benci pada siapapun yang merasakannya.
Hingga pada akhirnya, aku menjadi monster sejati, monster bagi siapapun yang membuatku murka dan benci.
Aku, gila.. dan sendiri.
-o0o-
Terjaga. Pukul tiga pagi.
Sejak tadi Minseok asyik memperhatikan seseorang di sampingnya. Mencuci jari-jari yang terputus dari tangan milik seseorang. "sudah, jangan terlalu bersih. Kau tidak mengantuk, huh?" Minseok mulai merasakan jika matanya sudah ingin di pejamkan.
"nanti ya, Min. Tidur duluan saja"
Minseok mengangguk, ia pun berjalan gontai menuju ranjang impiannya. Menelusup masuk ke dalam selimut tebal miliknya. Hangat dan nyaman. Kegiatan tadi sangat menguras tenaga. Namun jiwa dan hatinya merasa puas. Mereka memutilasi seseorang.
Malam hari, sepulang bekerja biasanya mereka mampir ke kedai kopi. Sekedar mengobrol atau memperhatikan beberapa orang di sana.
"Min, lihat mereka!" ucap seorang pria. Minseok yang saat itu sedang mengaduk gelas kopi hanya menoleh kecil. Lalu kembali fokus pada benda di depannya. Pria itu berdelik, Minseok ini sungguh menyebalkan jika sedang dalam mood tidak baik. "hei, pendek! aku bilang lihat itu!!"
Minseok melempar sendok itu, hingga menimbulkan suara yang membuat tidak sedikit pengunjung disana memperhatikannya. "kau juga pendek! kenapa berkata seperti itu! mana?! apa ada yang bisa membuatku senang?"
Pria itu terkekeh, lalu menunjuk seorang pengunjung yang duduk di kursi paling ujung. Memegang cincin yang sepertinya akan dihadiahkan untuk seorang spesial. Minseok mengamati sejenak, bibirnya ia poutkan ketika melihat pria itu tersenyum lalu mencium cincin itu. Minseok benci senyuman kebahagiaan.
"dia harus mati" ucap Minseok pelan. Pria disebelahnya mengangguk mantap. Ia pun menginginkannya.
Tak lama pria diujung itu berdiri, membayar pesanannya lalu pergi. Minseok hanya memperhatikan, tidak berniat akan mengikutinya. "ayo, Min!" ucap pria disampingnya. Minseok menggaruk leher sambil tersenyum, "sepertinya kau yang terobsesi dengannya?"
"kalau benar memangnya kenapa? kau juga pasti akan senang kan?"
Minseok menggangguk, ia lalu mengambil beberapa lembar uang di saku lalu menaruhnya di atas meja. "bibi, uangnya aku simpan disini ya! ambil saja kembaliannya" ucap Minseok pada pemilik kedai. "ah! terima kasih Minseok-ah. Tuhan memberkatimu, nak"
Mereka berjalan cepat menyusul pria itu, tampaknya mudah untuk menemukan jejaknya. Padahal cukup lama pria itu meninggalkan kedai.
Tuhan sepertinya mengijinkan mereka, pria itu memilih jalan sepi dan gelap. Mungkin ini takdirnya. Minseok tersenyum sepanjang perjalanan, siapapun yang melihat ini pasti sangat menakutkan.
"hei!" panggil Minseok, pria itu menoleh lalu tersenyum padanya. "ya tuan? kau memanggilku?"
Minseok mengangguk, "bisakah kau ikut dengan kami?"
"ikut dengan kalian? untuk apa?"
"kami ingin meminta bantuanmu"
"bantuan? oh baiklah, hal apa itu?" pria itu kemudian berjalan mendekat, tidak ada perasaan apapun saat itu. "aku ingin cincin yang ada disakumu" ucap Minseok.